Thursday, May 09, 2019

Kondisi Polyhydramnion pada Kehamilan Kedua-ku

Setiap calon ibu pasti menginginkan proses kehamilan yang lancar dan bayi yang sehat. Begitu pula aku dengan kehamilan keduaku yang sangat aku nanti-nantikan. Namun di luar perkiraan, proses kehamilanku rupanya berjalan tak sesuai harapan tersebut.

Hingga minggu ke 30 (tiga puluh) kehamilanku semuanya baik-baik saja. Kondisi janin baik dan aku pun sehat. Sampai pada suatu saat orang-orang menilai perutku terlihat lebih besar dari usia kehamilanku. Hamil 7 bulan tapi seperti 9 bulan. Aku pun merasakan perutku menjadi lebih berat, kencang dan berkilau (idih macam iklan sampo aja).

Tiba saat kontrol rutin ke dokter. Dokter kandungan menemukan bahwa air ketubanku berlebih, ia mengatakan hal itu biasanya dipicu adanya gangguan pencernaan pada janin. Karena selain memperoleh nutrisi dari tali pusar (placenta) janin juga meminum ketuban sebagai sumber makanan. Akan tetapi lambung bayiku kelihatan baik-baik saja dan masih berisi cairan, tanda bahwa ia minum ketuban. Kata dokter, kejadian ini akan diobservasi lagi dan dilihat perkembangannya pada kontrol berikutnya.

Dua minggu aku lalui dengan pernyataan dari orang di sekelilingku yang kurang lebih sama, perutku sangat besar. Bahkan ada yang menanyakan kenapa belum cuti saking dikira usia kehamilanku sudah mencapai 9 bulan, padahal masih belum genap 8 bulan.

Pada saat pemeriksaan berikutnya, wajah dokter kandunganku terlihat agak muram. Proses pemindaian USG (ultrasonography) pun lebih lama dari biasanya. Dokter menyatakan, kali ini air ketubanku sudah sangat berlebih atau biasa disebut polyhydramnion dan ia mencurigai adanya dua buah gelembung dalam perut janinku. Seharusnya gelembung itu hanya ada satu, yaitu yang dikenali sebagai lambung. Lebih parahnya, berat janinku hanya bertambah sekitar 60 gram.

Dokter kandungan langsung membuatkan rujukan ke dokter fetomaternal (dokter untuk kandungan bermasalah) untuk dicek lebih lanjut menggunakan USG 4 Dimensi. Langsung pada sorenya di hari yang sama, kami mengantri untuk pemeriksaan dokter fetomaternal.

Sore itu mungkin adalah sore yang sangat mengejutkan bagiku dan suami. Berdasarkan hasil pemeriksaannya, polyhydramnion yang aku alami adalah karena di pencernaan janinku ada penyumbatan. Tepatnya penyumbatan di usus bagian atas, kemungkinan di usus dua belas jari. Ketika usus tersumbat dan cairan tidak bisa mengalir, maka timbul lah gelembung berisi cairan di bagian yang tersumbat. Penyumbatan ini membuat bayiku tidak bisa lagi mengkonsumsi ketuban sehingga ketuban berlebih dan bayiku kurus.

Solusi permasalahannya adalah untuk ibu harus dijaga kehamilannya karena berpotensi menyebabkan sesak nafas serta pecah ketuban karena banyaknya volume air. Sedangkan untuk bayinya diberikan vitamin penambah nutrisi agar tumbuh kembangnya tetap terjaga. Sementara itu, pernyataan yang lebih membuat syok adalah, sesudah dilahirkan nanti, bayiku harus dioperasi. Jika tidak maka ia tidak akan bisa mencerna makanan yang dimakan.

Astaghfirullah, keluar dari ruang dokter, aku dan suamiku langsung lemas. Tidak terbayang bagi kami, seorang bayi yang baru lahir dilakukan pembedahan; meski dokter menyatakan hal tersebut telah jamak dilakukan. Selain itu, kami tak habis pikir mengapa ini terjadi pada bayi kami. Penyebabnya pun tak begitu jelas, kata dokter sudah dari 'sononya', sehingga saat kami tanya apa karena faktor makanan, virus maupun bakteri; dokter bilang bukan karena itu.

Usai diperiksa dokter fetomaternal, kami dipanggil untuk berkonsultasi dengan dokter kandungan. Ia menyarankan agar tetap optimis dan berdoa. Karena apa yang menjadi temuan dokter belum tentu sepenuhnya benar. Bisa jadi seperti kasus yang ia tangani sebelumnya, ternyata sumbatan yang dimaksud hanya pup bayi yang mengeras. Ia meminta agar kita melakukan kontrol 2 minggu lagi, namun boleh datang jika terjadi hal yang tidak wajar.

Pasca-pemeriksaan dokter fetomaternal, hari-hari kulalui dengan kurang bersemangat. Memikirkan kondisi bayiku. Memikirkan bagaimana jika benar ia harus dioperasi setelah lahir. Memikirkan apakah ia akan bertahan hidup, apakah ia akan menjadi rejekiku setelah sekian lama berharap memiliki anak kedua.

Aku dan suami sempat panik. Kami diam-diam mencari informasi mengenai kejadian yang sama, meski aku cenderung lebih berdiam karena tidak ingin mendengar informasi apapun yang akan mempengaruhi kondisiku dan kehamilanku. Saking paniknya bahkan aku sempat meminta dokter kandungan agar diperbolehkan kontrol kembali dalam waktu seminggu, meski akhirnya urung aku lakukan karena merasa tidak terjadi hal-hal yang diluar kewajaran. Selebihnya kami pasrah, memperbanyak berdoa dan berusaha menyemangati diri sendiri. Kami sengaja tidak banyak bercerita kepada orang-orang agar tidak terpengaruh pembicaraan yang kurang baik.

Dua minggu berlalu. Aku kontrol ke dokter kandungan lagi dengan perut yang makin besar dan kencang hingga membuat kakiku bengkak. Dokter sempat menegur, dengan kondisi yang ia nilai lebih parah dari sebelumnya namun aku terlihat tenang. Hasil USG mengatakan air ketubannya sudah sangat sangat berlebihan. Bayiku naik berat badannya sekitar 500 gram karena konsumsi vitamin penambah berat badan, namun detak jantungnya dinilai tidak stabil. Maka dari itu dokter memintaku melakukan tes detak jantung bayi dan kontraksi rahim. Rahim yang terlalu banyak air lebih rentan pecah ketuban karena kontraksi yang terlampau sering. Selain itu, aku diminta periksa kondisi tali pusar apakah masih baik atau sudah kadaluwarsa. Sebab hanya dari tali pusar lah bayiku mendapat asupan nutrisi. Jika kondisinya sudah tidak baik maka akan lebih berbahaya bagi janin.

Aku baru melakukan tes-tes yang diminta dokter pada keesokan harinya. Tes detak jantung bayi dan kontraksi rahim dilakukan di Unit Gawat Darurat Kebidanan. Tes pertama, detak jantung bayiku agak tidak stabil dan banyak kontraksi; sehingga dokter melalukan terapi pemberian oksigen selama 4 jam dengan harapan agar detak jantung kembali normal dan kontraksi berkurang. Sambil diberikan oksigen aku sempat melakukan pemeriksaan tali pusat sebentar dan alhamdulillah hasilnya baik.

4 jam telah berlalu. Suster melakukan pemeriksaan detak jantung dan kontraksi kembali pasca terapi. Detak jantung alhamdulillah stabil, namun kontraksi malah bertambah. Setelah dilaporkan kepada dokter, akhirnya dokter memtuskan aku diopname. Opname bertujuan memberikan terapi untuk mengurangi kontraksi dan menghindari terjadinya kelahiran dini serta pecahnya ketuban. Selain itu, sebagai persiapan jika terjadi kelahiran dini, maka diberikan juga obat pematangan paru untuk janin.

Jadilah aku dirawat selama 3 malam dan menjalani terapi di atas. Pada hari keempat aku diperbolehkan pulang, masih dengan kondisi perut yang besar sekali. Aku diminta bed rest di rumah selama seminggu sambil observasi dan mengkonsumsi obat pengurang kontraksi. 3 hari pasca-opname aku diharuskan kontrol.

Makin parah, saat bedrest di rumah, aku mengalami kontraksi hebat. Barangkali seperti sudah hampir melahirkan. Obat yang kuminum tak mempan mengurangi kontraksi dan rasa sakitnya. Disamping itu, dengan perut besar aku sudah susah duduk dan berjalan. Kaki pun semakin membengkak. Aku bertahan hingga waktunya kontrol.

Saat kontrol pasca-opname, masih dilakukan tes detak jantung dan kontraksi. Hasilnya kontraksiku sudah tidak terkontrol, dokter menyarankan dua alternatif, kelahiran sesar atau reduksi ketuban. Aku dan suami ku sepakat untuk melakukan kelahiran sesar. Alternatif reduksi ketuban tidak kami pilih karena hanya bisa dilakukan di rumah sakit lain, sedangkan kondisi perut besar dan kontraksiku sudah demikian parah. Tidak ada jaminan juga bahwa reduksi ketuban bisa berimpak baik terhadap polyhydramnion yang kualami, karena toh air ketuban akan terus diproduksi selama kehamilan sehingga resiko ketuban berlebih masih bisa terulang.

Kehamilan dengan ketuban berlebih bukan tanpa resiko juga saat bayi dilahirkan. Karena banyaknya air ketuban dan rahim yang sangat melar, resiko pendarahan hingga pengangkatan rahim bisa saja terjadi. Dokter kandungan yang merawatku sampai mendatangkan dokter senior saat melakukan operasi sesar. Akhirnya pada tanggal 9 Februari 2019, pada usia kandungan 34-35 minggu, aku melahirkan secara sesar. Dan bayiku langsung dilarikan ke ruang NICU (Neonatal Intensive Care Unit) dalam sebuah inkubator.

*Bersambung

No comments: