Friday, October 26, 2012

Crazy Little Thing Called....LOVE


Inilah euforia menonton film. Film yang satu ini membawa saya flashback ke masa-masa saya duduk di bangku SMA bersama 3 sahabat saya. Mengingatkan saya pada beberapa kebiasaan kala itu. Mengobrol dengan secarik kertas yang dioper, sengaja izin ke toilet demi mengintip kelas di mana gebetan berada, boncengan di atas sepeda motor ketika pertama kali kami bisa mengendarainya dan tentu saja melewatkan banyak hal bersama. Kami juga mengalami perasaan kehilangan salah satu di antara kami hanya karena ia asyik bersama pacarnya :D

Disamping menceritakan tentang persahabatan, film ini menurut saya membawa satu pesan sederhana yang lumayan penting untuk menjadi pertimbangan dalam menjalin hubungan cinta dan menjalani kehidupan.

Ceritanya, sang tokoh utama, Khun Nam, jatuh cinta pada seniornya bernama Shone. Seperti biasa, namanya juga film. Shone adalah sosok senior yang ganteng, pinter main bola dan digemari banyak cewek cantik. Sementara Nam adalah cewek yang berkulit gelap, berkaca mata, pake kawat gigi, tidak terlalu pintar dan tentu saja tidak banyak murid yang mengenalnya. Bagi Nam, bisa bertemu dan bicara dengan Shone walau hanya sebentar ituuu udah sesuatu banget deh.

Sahabatnya tahu bahwa Nam menyukai Shone. Mulailah mereka membantu Nam untuk mendapatkan perhatian Shone dan Nam pun bersemangat untuk melakukan apa saja yang disarankan sahabatnya. Mereka mulai dengan membeli buku ‘9 metode mendapatkan gebetan’ dan menerapkan metode-metode tersebut. Gokil banget pas mereka mendandani Nam dengan masker dan melumurinya dengan lulur hingga kulitnya kuning. Sampai akhirnya Shone malah mengira Nam lagi sakit hepatitis A *hadeh.

Nam juga berusaha belajar lebih giat untuk menjadi juara di kelasnya. Ia dan sahabatnya mengikuti klub drama untuk menarik perhatian Shone. Nam juga belajar menjadi mayoret yang baik, saat ia kebetulan diminta menggantikan temannya yang cedera. Nam lambat laun mulai ‘sadar penampilan’ sehingga dia sukses menjadi idola di sekolah –pokoknya singkat kata Nam yang tadinya jelek terus jadi cantik aja.

Tiga tahun Nam diam-diam menyukai Shone dan melakukan berbagai cara untuk merebut perhatiannya. Sebetulnya usahanya tidak sia-sia, karena Shone ternyata juga menyukai Nam. Hanya saja waktu dan kondisi belum mendukung mereka untuk bersama. Hingga akhirnya mereka harus berpisah untuk mengejar impian masing-masing.

Alkisah, 9 tahun kemudian Nam berhasil menjadi fashion designer sukses setelah belajar di USA, sementara Shone berhasil menjadi fotografer pro yang selama ini dia impikan. Lalu mereka bertemu kembali, dan saat itulah cerita mereka happy ending.

Di akhir cerita film tersebut Nam berkata bahwa salah satu hal yang membuat ia sukses adalah karena dia pernah mencintai seseorang. Nam berkomentar tentang cowok yang dicintainya: “He is like my inspiration, he made me use the love in good way, he is like the power that supports me to be better and better...”

NAH! Ini lah apa yang saya bilang sebagai hal sederhana tapi perlu dicatat. Di tengah euforia menonton film ini saya berfikir bahwa memang sebaiknya rasa cinta kita terhadap seseorang itu dapat membawa kita menjadi diri kita ke arah yang lebih baik, bukan malah ke arah destruktif. 

Mungkin ada yang bakal komplain “wah, kalau gitu kita hanya bisa lebih baik kalo ada dia dong”. Iya, memang ‘dia’ adalah motivasi kita. Tapi tetap saja, kemauan untuk jadi lebih baik itu datangnya dari diri kita sendiri, cinta itu hanyalah pemantiknya. Toh sebenarnya, tidak banyak respon juga yang diberikan oleh Shone pada Nam. Tapi bagi Nam, bahkan hanya dengan melihat senyum Shone, Nam menemukan semangat yang luar biasa yang mampu mendorong dia ke arah yang lebih baik lagi.

Look, love might be a crazy thing, but the power to be better still come from your own mind, body and soul! So.... *simpulkan sendiri :P