Tuesday, June 09, 2015

Wonderful Labuan Bajo (Part #1) : The Adventure of 3 Happy Mommy Crossing East Nusa Tenggara

Timor Leste - Indonesia border bridge
That day, in the middle of our assignment in Timor Leste, we are thinking the way we spent our  holiday. We just have 3 days annual leave remaining so we plan to go to the nearby place, not far from Timor Leste. We have an idea to go to Bali but we have been there for many times so it was bored to go there. Until one of our friend tell us to go to Kupang City, 12 hours by car from Dili. It sounds interesting, yet we haven't heard any famous places there to be visited. Suddenly those friends also tell us to connect our journey to Labuan Bajo with the beautiful Komodo Island. And, finally we decided to go that way...

Some friends were wondering why we want to go to Labuan Bajo through Kupang, and wasting half of the day by car to go there. It's because we have a big curiosity about how it feels to cross Timor Island from northeastern tip to southwest tip. Therefore, we booked three one way tickets of Timor Travel (among few options of shuttle provider in Timor Leste that has Dili-Kupang track). It costs $ 20 for each ticket and will be departed at 9 a.m. At the scheduled time, they pick us up at our apartment, half an our late that the promised schedule. We still need to pick up another passangers so literally we departed from Dili at 10 a.m.

Scenery outside, still at Timor Leste
The three of us sit in the center row of the shuttle. No air conditioner provide in the shuttle, so we need to open up the window to get fresh air. It is a dilemma anyway, because we were not only get fresh air but also dust from outside, since the road toward the country border of Timor-Leste and Indonesia haven't covered by asphalt or concrete. But we saw that at some point the road were under-construction to make it better.

After 4 hours, we arrived at Atambua. We had to report to immigration section, both Timor-Leste and Indonesian. In Timor-Leste immigration we just need to queuing by ourselves. In Indonesia immigration office there were many Timorese come toward us and offered assistance to reporting our arrival. At first I thought that it was free of charge but in the end they ask for money and we gave them $ 2 for each of us. Honestly, we felt a little bit uncomfortable about that. Moreover, we had to report and gave our data at the nearby police office (Kepolisian Resor Belu, Sektor Motaain) before we continued our trip to Kupang.

Inside Timor Travel accross East Nusa Tenggara Road
Arrived in East Nusa Tenggara, Indonesia, was such a relieve for us, especially because the road was much better than previous road. We continued our journey by different shuttle through hot mix smooth road. The scenery outside provided green savanna with the beautiful sunset over the row of Nusa Tenggara traditional house. We also stopped by at a Minang-nese Restaurant, Sari Bundo Atambua to have our dinner before departed to Kupang City, the capital of East Nusa Tenggara Province.

(to be continued...)

3 Tantangan pada Masa Kehamilan (Diary Bumil Polos bagian #3)

Lebih dari sembilan bulan saya hamil. Tidak terasa proses persalinan sudah di depan mata. Ya, tidak terasa, salah satunya karena tidak terlalu banyak kesulitan yang saya alami selama proses kehamilan. Faktor pendukung lainnya adalah karena karakter saya yang cuek, tidak banyak komplain serta kondisi sekeliling yang cukup kondusif bagi saya. Menurut saya, karakter ibu hamil sangat menentukan proses yang dialami selama kehamilan karena satu masalah belum tentu sama dihadapi oleh ibu dengan karakter berbeda. Berikut tantangan yang saya alami saat hamil :

1. Heartburn

Heartburn adalah timbunan gas asam lambung yang bikin perut kembung, panas hingga terasa sampai kerongkongan. Seringkali heartburn sampai membuat saya mual dan akhirnya muntah. Tantangan yang satu ini setia menghadang mulai di trimester pertama hingga terakhir. Sempat membaik di trimester kedua sih. Saya membaca di beberapa referensi, heartburn ini wajar dihadapi ibu hamil karena hormon progesteron yang diproduksi lebih banyak selama hamil, turut menjadi penyebab naiknya asam lambung dari kondisi normal. Saya berasumsi, heartburn yang saya alami kian diperparah dengan riwayat maag saya. Kendati beberapa waktu sebelum hamil, penyakit tersebut sudah jarang menyerang.

Konsekuensinya, untuk menghindari heartburn yang cukup menyiksa ini, pada saat hamil saya amat sangat mengurangi makanan penyebab asam lambung. Mulai dari makanan yang mengandung kacang-kacangan, makanan pedas, makanan yang digoreng, makanan yang mengandung santan, sampai dengan kopi dan beberapa jenis susu. Tentu saja pembatasan konsumsi makanan yang saya lakukan menghapus cukup banyak menu makanan dan jajanan yang umum ditemui di luar rumah. Solusi memasak sayuran hijau di rumah dan memilih mengkonsumsi lebih banyak buah-buahan akhirnya jadi pilihan.

Saya sempat menebak-nebak, mungkin yang membuat beberapa ibu hamil mabuk di trimester pertama itu adalah kondisi heartburn ini. Saat dimana produksi asam lambung meningkat dan hormon sangat memengaruhi selera makan. Klop sekali jika selera makan hilang, perut tidak terisi dan asam lambung lagi banyak-banyaknya. Yang ada mual dan muntah berkepanjangan.

Saya pun mengalami perubahan selera makan, tapi bagaimanapun saya berprinsip tetap harus makan demi si baby. Jadi saya berusaha untuk tidak memanjakan diri sendiri. Makan sebelum lapar penting sekali untuk menghindari timbulnya lebih banyak asam lambung di perut saya. Asal tidak mabuk saja saya sudah bersyukur, yang penting makanan tertelan.

Pada trimester dua, yang konon termasuk masa kehamilan yang sudah lebih stabil dengan catatan kehamilan normal, heartburn juga ikut berkurang. Lumayan, saya jadi bisa menikmati beberapa menu pedas kesukaan saya. Puas-puasin deh karena pas trimester pertama sudah benar-benar membatasi.

Entah kenapa sang heartburn muncul lagi pada trimester tiga. Jika sebelumnya penyebab utamanya adalah makanan, kali ini munculnya tidak bisa ditebak. Saya sempat berasumsi macam-macam, apa jangan-jangan karena stress atau karena ukuran baby yang semakin besar hingga menekan lambung. Namun ketika saya konsultasikan dengan dokter kandungan, katanya semata karena faktor makanan. Kemudian ia memberikan obat penawar mual untuk sesekali diminum pada saat heartburn. Berdasarkan pernyataan dokter tersebut akhirnya di trimester tiga saya kembali membatasi makanan saya.

2. Miskomunikasi dengan pasangan

Ibu hamil seringkali mengalami masa-masa tidak nyaman. Misalnya berubah selera makan dan selera-selera yang lain, mual muntah, sering capek, atau jika sudah memasuki trimester akhir mulai tidak nyaman dengan posisi tidur, posisi duduk, lelah berjalan dan lain sebagainya. Belum lagi ketidaknyamanan ‘perasaan’ yang diklaim sebagai efek gejolak hormon. Pas menstruasi saja, wanita itu sulit dipahami, begitu kata laki-laki. Apalagi saat hamil, yang hormonnya berlipat ganda.

Di satu sisi, saya dan mungkin kebanyakan wanita hamil ingin sekali ketidaknyamanan ini juga dimengerti oleh pasangan. Sehingga pasangan bisa memberikan dukungan terhadap saya untuk melalui masa-masa kehamilan. Pasangan saya pun tergolong orang yang gemar membaca, mencari informasi tentang hal apapun dan terdidik. Maka seharusnya dia sudah tahu bagaimana caranya menghadapi wanita hamil.

Tapi ternyata, di kalimat terakhir itulah kesalahan saya pemirsa. Saya begitu berharap dan berprasangka baik bahwa suami akan mencari informasi mengenai ibu hamil selaiknya dia membaca berita-berita politik atau mengikuti perkembangan kejadian di luar sana melalui portal berita. Ternyata tidak sodara-sodara. Suami saya tetap harus diberi tahu apa yang harus dan sebaiknya dilakukannya. Ya begitulah, klise...wanita seringkali ingin dimengerti...pengennya tanpa harus ngomong banyak. Sedangkan pria, lempeng, dan tidak akan berasumsi macam-macam soal perasaan wanita kecuali diomongin langsung.

Dalam hal ini lah, mau tidak mau, kita dan pasangan dituntut untuk lebih cair mendialogkan tentang proses kehamilan. Sebagai wanita saya harus pro aktif mengkomunikan hal-hal yang perlu pasangan saya ketahui. Dan sebaiknya para suami juga pro aktif menanyakan, apa yang bisa dia bantu atau apa yang butuh untuk dia perhatikan. Karena menurut saya, miskomunikasi dengan pasangan ini cukup menguras tenaga pada saat saya menghadapi proses kehamilan saya yang pertama ini.

3. Emosi yang bergejolak dari biasanya –dan efeknya pada rutinitas kerja

Nah, mungkin ini masih ada kaitannya dengan peningkatan produksi hormon. Di masa-masa kehamilan, saya merasa lebih total dalam bekerja. Kemudian saya juga menggebu-gebu saat berdiskusi soal pekerjaan. Saya pun tak segan mempertahankan pendapat dan mengkoreksi sesuatu jika saya tidak setuju, sampai-sampai mendekati agak ngotot. Saya akui saya lebih mudah tersinggung juga saat hamil. Saya bertanya-tanya, ada apa yaa dengan saya, padahal saya sebelumnya tidak seberapi-api ini.

Kalau permasalahan yang satu ini, tak lain saya berlatih lebih mengendalikan diri saja. Sekali lagi saya tidak ingin memanjakan diri saya dan menuruti kehendak hormon. Sedikit banyak saya percaya, jika hal-hal di luar kebiasaan saya itu merupakan bawaan bayi, maka saya harus melatih mengendalikannya sejak ia di dalam kandungan.