Friday, December 28, 2012

Pertemuan



Bagaimana Anda memaknai sebuah pertemuan? Ketika Anda pertama kali bertemu dengan teman baru, relasi baru, lawan jenis yang membuat Anda meliriknya. Atau ketika Anda bertemu kembali dengan anggota keluarga dan sahabat yang sudah lama tidak bertemu. Apakah Anda pernah memikirkannya?

Pertemuan Pertama

Saya termasuk orang yang excited menyambut sebuah pertemuan pertama. Pertemuan secara fisik tentu saja.

Belum lama ini saya bertemu dengan rekan kerja saya untuk pertama kali, setelah hampir setengah tahun ini kita hanya berkomunikasi lewat telepon maupun media online. Rekan kerja saya ini bagi saya cukup istimewa. Kita dipertemukan malah bukan karena pekerjaan, melainkan karena sebuah gerakan yang diberi nama Bakti Bagi Negeri. Sebuah gerakan bagi-bagi buku gratis bagi anak sekolah dasar di pelosok Indonesia.

Dia istimewa, saya kagum padanya, bagaimana bisa hanya lewat chatting dan telepon dia bisa mempersuasi orang-orang belum pernah dia temui sebelumnya, hingga apa yang dia inisiasi untuk gerakan itu pun berjalan dengan lancar. Roda gerakan berputar di sela-sela jarak yang membentang antar anggotanya. Maka dari itu saya sangat menantikan saat dimana saya bisa bertemu dengannya.

Pertemuan Kembali

Saya pernah menulis tentang pertemuan saya dengan Sahabat Bermata Coklat. Inilah pertemuan kembali yang tak pernah saya sangka akan dituliskan Tuhan. Pada saat pertemuan kembali antara kita berdua, saya menemukan bukti kebesaran Tuhan mengenai 'waktu'. Time does change everyone, including my best friend.

Kalau boleh dibilang, bertemu kembali dengan seseorang itu seperti membeli buku cerita. Membuka kembali dokumentasi kisah lampau dan menemukan sisi-sisi yang baru terkuak setelah lama kita meninggalkannya. Hal itu terjadi dalam pertemuan saya dengan teman kuliah saya yang sudah berpisah selama lebih dari 5 tahun. Dia tak sungkan menceritakan kembali kisah lamanya, kisah yang dulu tidak saya ketahui kebenarannya.

Pertemuan itu Misteri

Pertemuan saya dengan sepupu jauh saya bernama Apik dan Anik (mereka kembar), pada saat kita menempati kos yang sama di masa kuliah dulu, membawa saya kepada hal kecil yang mengejutkan. Ternyata ayah mereka, Prof. Ali Saukah adalah pengarang buku paket pelajaran Bahasa Inggris yang saya pakai di SMP dulu.

Kemudian, pertemuan saya dengan sepupu saya yang lain bernama Sinati, membawa Sinati bertemu dengan Taufik, suaminya sekarang. Sinati juga satu kos dengan saya, Apik serta Anik. Pada suatu hari, Taufik, yang juga sepupu saya dari pihak ibu, datang untuk bertemu dengan saya. Saya sedang di luar kos. Terpaksa Sinati menemui Taufik sehingga terjadilah perkenalan lebih jauh di antara mereka hingga akhirnya membawa mereka ke jenjang pernikahan.

Saya percaya, pertemuan itu ada misterinya. Saya sering tertawa sendiri saat mengingat-ingat berbagai pertemuan yang saya alami, karena baru mendapati hikmah pertemuan itu di masa sekarang.

Pertemuan adalah Pembelajaran

Peristiwa apa pun yang terjadi di dunia ini membawa pembelajaran, tak ketinggalan pula sebuah pertemuan, baik pertemuan formal maupun ketidaksengajaan dalam keseharian kita. Saya belajar bagaimana mengelola keuangan dan pentingnya berinvestasi setelah bertemu sahabat saya yang satu. Saya belajar bagaimana menjadi sedikit galak, judes dan tegas setelah bertemu sahabat saya yang lain.

Saya belajar untuk tidak memarahi orang -karena jujur dimarahi orang tu ngga enak banget, dari rekan kerja saya di kantor. Saya belajar untuk murah senyum dari orang yang baru saja berpapasan dengan saya di sebuah perjalanan, saya pikir ternyata melihat orang tersenyum itu mampu membahagiakan kita. Di hari-hari kemudian, ketika bertemu dengan seseorang, saya asik bertanya-tanya dalam diri saya, hmmmm apalagi yaa yang akan saya pelajari dari orang ini? :D

Begitulah beberapa cara saya memaknai pertemuan, bagaimana dengan Anda?

Friday, December 21, 2012

Kiamat

Tanggal ini, 21-12-2012 konon adalah hari terakhir bagi Suku Maya. Mereka meyakini bahwa kiamat seharusnya terjadi hari ini. Kok seharusnya? Karena sekarang pukul 05.45 waktu Indonesia bagian kamar, saya masih bisa mengetik postingan ini, jelas bahwa ramalan tersebut masih belum terjadi.

Di postingan saya sebelumnya, saya menyebutkan satu bagian dari kitab suci agama Islam yaitu Surat Al Waqiah. Teman-teman yang membaca postingan tersebut mungkin merasa ganjil ketika amarah saya reda begitu saja begitu membaca terjemahan surat itu. Sebetulnya, apa yang dikatakan Tuhan saya di Surat Al Waqiah?

Jawabannya akan saya coba ulas di postingan ini, pastinya dengan sudut pandang sangat subyektif. Saya juga mohon maaf bila sekiranya postingan ini tidak berkenan bagi pembaca. Tidak ada maksud lain, selain hanya sharing cerita saja.

Waqi'ah adalah nama lain dari Kiamat. Di kitab Al Qur'an, Allah menyebut 'Kiamat' dengan berbagai istilah. Beberapa diantara istilah lainnya adalah Qori'ah dan Qiyamah. Secara garis besar, Al Waqi'ah menceritakan mengenai nasib bangsa manusia setelah Kiamat itu terjadi, lebih kepada ganjaran yang akan diterima setelah dihisab atau dihitung amalannya.

Setelah Kiamat terjadi dan setelah dihisab tadi tentu saja, bangsa manusia dibagi menjadi tiga golongan: pertama, golongan kanan; kedua, golongan kiri dan ketiga, golongan orang-orang beriman. Golongan tersebut dibagi berdasarkan amalan dan ganjaran apa yang akan diterima.

Penjelasan di Al Waqiah dimulai atas orang-orang beriman terlebih dahulu. Siapa saja yang dikategorikan orang beriman? Mereka adalah "segolongan besar orang-orang terdahulu dan segolongan kecil dari orang-orang yang kemudian". Saya mengasumsikan bahwa orang-orang terdahulu adalah yang hidup di masa Nabi Muhammad dan pendahulu-pendahulunya, sementara orang kemudian merupakan sebutan bagi kaum yang hidup setelah Nabi termasuk kita-kita ini. Kenapa ya kaum kita hanya sedikit yang masuk golongan ini?

Golongan pertama adalah golongan yang akan ditempatkan di Jannatun Na'im (Surga Kenikmatan) dan paling dekat dengan kedudukan Allah. Dijelaskan pula bagaimana kondisi dan kenikmatan di surga ini adalah yang paling yahud dari surga-surga yang lain. Saya curiga, jangan-jangan Nabi dan Rosul juga tinggalnya di surga ini. Pantesan tampak susah masuk ke golongan ini.

Golongan kedua adalah golongan kanan. Siapa mereka? Mereka adalah "sebagian besar orang-orang terdahulu dan segolongan besar pula dari orang-orang kemudian". Ganjaran buat mereka adalah menghuni surga lain selain Jannatun Na'im. Tentu dengan kenikmatan yang tak kalah oke.

Golongan ketiga, golongan kiri, mereka adalah "orang-orang terdahulu dan orang-orang kemudian yang sebelum kiamat hidup bermewahan, terus menerus mengerjakan dosa besar dan tidak percaya bahwa mereka akan dibangkitkan setelah mati". Ganjarannya adalah neraka, seram sekali penjelasan kondisi neraka di Surat Al Waqiah.

Sebagian akhir dari Al Waqiah berisi semacam "Big Irrefutable Retorical Questions", mengapa bangsa manusia meragukan dan meremehkan Tuhan, padahal telah jelas bukti-bukti keberadaan dan kekuasaan-Nya. Ini nih contoh pertanyaannya:

"Maka terangkanlah kepadaku tentang apa yang kamu tanam. Kamukah yang menumbuhkannya atau Kamikah yang menumbuhkannya?
Kalau Kami kehendaki, benar-benar Kami jadikan dia hancur dan kering, maka jadilah kamu heran dan tercengang (sambil berkata): Sesungguhnya kami benar-benar mendertia kerugian" (QS. Al Waqi'ah: 63-66)

Apa yang saya rasakan dalam postingan sebelumnya adalah satu bentuk goyahnya keyakinan saya terhadap kuasa Tuhan yang dibantah telak dengan banyak Retorical Questions tersebut. Maka dari itu saya langsung diam seribu bahasa dan mohon ampun pada Tuhan atas keragu-raguan saya.

Well, apapun, itu tadi terbatas pengalaman spiritual saya. Tapi kalau ingat keyakinan saya akan hari Kiamat, tentu saya ingin masuk surga dan saya tahu itu tidak gampang, bahkan mungkin jalannya harus banyak ditempuh dengan banyak kesabaran dan keikhlasan atas kondisi yang tidak kita inginkan. Itulah kenapa, seperti saya pernah dengar, surga banyak dihuni oleh orang miskin yang ikhlas menghadapi hidupnya. Lantas kenapa saya menjadi begitu sombong dan tidak mensyukuri kondisi saya saat ini?

Thursday, December 20, 2012

Limbung

space
Saya sampai pada ujung keputusasaan saya.

Saya sudah tidak mampu menyalahkan diri sendiri atas kekecewaan ini. Terlalu banyak saya lemparkan beban pada hati untuk memarahi otak ketika dia mencoba egois dalam menghadapi masalah. Otak pun sebenarnya sudah lelah membela diri saya dihadapan hati dengan segala logika-logikanya.

Otak mencoba menyalahkan orang lain, "Seharusnya mereka bisa sedikit lebih peduli kepada kita seperti kita telah berbaik hati pada mereka! Apa salah kita sampai mereka tega bertindak sangat tidak adil?!"

Hati bilang, "Percuma menyalahkan orang lain karena toh mereka tak berperan dalam menciptakan kekecewaan. Bukannya kekecewaan itu hasil karya mu sendiri wahai otak dan pikiran? Kau begitu sombong menetapkan standar-standar diri sehingga virus kekecewaan itu tumbuh besar dalam diri kita".

Saya lari pada hal lain. Saya mengadu dan marah sama Allah.
Saya dulunya giat berdoa agar Dia memberikan yang terbaik bagi saya, seperti apa yang dikasih tau orang-orang. Hanya saja rupanya entah apa kami berdialog dalam bahasa yang berbeda, sehingga persepsi yang terbaik menurut-Nya kok masih jauh dari yang terbaik versi saya. Padahal, rasanya saya sudah memenuhi syarat dan ketentuan yang Dia berikan deh.

Saya pikir ini harus diluruskan. Karena saya benar-benar sudah tidak bisa menyalahkan hati dan otak  atas semua ini.

Akhirnya saya meluruskan semua itu dengan cara penghambaan yang paling kuno. Saya bicara sama Allah "Apalagi Yaa Allah? Apalagi yang harus saya lakukan? Setidaknya berikan sedikit obat untuk orang limbung yang satu ini, yang sangat sadar bahwa hanya Engkaulah Yang Maha Kuasa"

Lantas Dia memberikan saya: Al Quran - Surat Al Waqi'ah, dan diamlah saya. Seperti antalgin, obat itu menawarkan sakit saya, tangis saya dan rengekan saya.

Tuesday, December 18, 2012

Dewa yang Kecewa

Dari Belitong saya punya cerita. Bukan soal pantai indahnya plus hiasan batu-batu besar yang entah dari mana datangnya itu. Bukan pula soal SD Laskar Pelangi serta Ibu guru Muslimah yang termasyur sejak difilmkan. Ini soal kisah saya di Vihara Dewi Kwan Im, sebuah vihara dengan dominasi warna merah pada bangunannya dan terletak di sebuah bukit Belitong Timur.

Pada bangunan vihara yang paling besar, di puncak bukit, terdapat tempat berdoa kepada para dewa. Banyak sekali patung dewa-dewa Cina diletakkan di sebuah altar lengkap dengan dupa dan sesaji di sekelilingnya. Setiap pengunjung yang hadir ditawarkan untuk berdoa di hadapan para dewa. Melalui beberapa prosesi, pengunjung dapat berdoa dan mengajukan satu hal untuk ditanyakan pada para dewa. Konon para dewa itu akan segera menjawabnya.

Teman saya pun mencobanya. Dia diminta menyebutkan pertanyaan dalam hati. Kemudian penjaga vihara melemparkan sepasang batu ke altar yang sesaat kemudian batu tersebut jatuh dalam posisi satu menelungkup dan satu menengadah. Sang penjaga viara lalu meminta teman saya mengambil sebuah benda mirip sumpit di antara sekian banyak benda yang sama dan terletak dalam satu wadah. Cara pengambilannya mirip undian.

Setelah terpilih satu sumpit, Sang Penjaga mengamati sumpit tersebut lantas menuju ke sebuah papan di salah satu dinding ruangan. Papan tersebut memiliki banyak kotak-kota di mana di dalamnya terletak banyak kertas-kertas bertuliskan tulisan Cina. Sang Penjaga mengambil salah satu kertas di antaranya dan sepertinya ia mencocokkannya dengan sumpit yang terpilih. Saya tidak tahu berdasarkan apa.

Di balik kertas itu ada tulisan Cina yang lebih kecil dan terangkai dalam paragraf. Sang Penjaga pun menterjemahkan dan membacakannya untuk teman saya. Saya lupa apa tepatnya isi pesan di dalam kertas tersebut.

Tertarik dengan pengalaman teman saya, saya pun menerima tawaran sang penjaga untuk berdoa di altar para dewa. Setelah bersiap, sang Penjaga meminta saya menyebutkan pertanyaan saya dalam hati. Terus terang, sebelum mencoba berdoa, saya sempat ragu terhadap hal ini. Khawatir bahwa yang saya lakukan termasuk tindakan yang dilarang oleh agama saya. Oleh karenanya, ketika diminta mengutarakan pertanyaan, dalam hati saya mengucap seperti ini: "Ya Allah berikan lah petunjukmu melalui hal ini, saya ingin tahu tentang karir saya".

Setelah itu, Sang Penjaga melempar sepasang batu, persis seperti yang ia lakukan dengan teman saya tadi. Tapi anehnya Sang Penjaga berkata bahwa lemparan pertama gagal. Sehingga saya harus mengulang pertanyaan saya. Sampai tiga kali lemparan batu, tetap saja Sang Penjaga bilang bahwa saya gagal. Para dewa tidak mau memberikan petunjuknya, katanya. Karena batunya semuanya sama-sama menelungkup atau sama-sama menengadah. Petunjuk baru akan muncul saat batu itu satu menengadah dan satu menelungkup. Sang penjaga menambahkan bahwa kegagalan saya akibat saya tidak yakin dan percaya pada para dewa sehingga mereka kecewa kepada saya.

Dan saya pun bingung. Saya meninggalkan vihara dan melanjutkan perjalanan, masih dengan rasa penasaran mengapa dewanya tidak mau menjawab pertanyaan saya. Sekian.

Oiya, buat yang mau liat video perjalanan saya ke belitong, bisa klik di bawah ini :)