Wednesday, January 20, 2016

Melahirkan Melalui Operasi Sesar (Fyuhhhhh)

Cerita ini flashback 7 bulan yang lalu....

Hari itu, aku dan suami pergi ke dokter kandungan untuk kontrol si dedek dalam perut. Usia kandunganku memasuki minggu ke 40. Namun si dedek masih anteng aja bobok di perutku, belum ada tanda-tanda pengen keluar. Sebelumnya, beberapa kali mules dan kontraksi menghampiri tapi buru-buru juga dia pergi dan tak datang lagi.

Selesai memeriksaku, sang dokter kandungan dengan dramatis, sembari menyibak tirai ruang periksa dan bergaya bagai seorang putri keluar dari kamarnya, mengabarkan bahwa si dedek belum juga masuk jalan lahir. Dokter pun tidak merekomendasikan untuk menunggu lebih lama, karena banyak resiko menghadang. Diantaranya kemungkinan bahwa air ketuban berkurang kualitasnya karena bayi mulai mengeluarkan pup, sehingga bisa mengakibatkan infeksi terhadap janin. Akhirnya aku dan suami diharuskan memilih antara dua pilihan: mau distimulasi dengan induksi dulu atau langsung operasi sesar.

Sudah dari awal mengandung, aku dan suami menginginkan si bayi lahir melalui proses persalinan normal. Aku memilih dokter kandungan yang sudah terbukti mendukung proses kelahiran normal (karena sahabatku juga menggunakan jasa dokter ini ketika dia melahirkan anaknya dan lahirannya normal). Aku pun rajin mengikuti senam hamil hampir setiap minggu pada kehamilan trimester ketigaku. Tiap weekend aku melakukan prenatal yoga dipandu video koleksi dari YouTube. Aku juga berusaha mengisi hari-hari trimester tiga dengan lebih banyak berjalan kaki.

Maka dari itu tentu saja kami memilih jalan untuk menstimulasi kelahiran melalui induksi terlebih dahulu. Walaupun kata orang-orang induksi itu sakitnya luar biasa, ah tapi tak apa lah. Bukan melahirkan namanya kalau tidak ada rasa sakit.

Besoknya pagi-pagi kami sudah siap menuju rumah sakit. Segala perbekalan kami bawa, baik keperluan setelah melahirkan maupun makanan kecil untuk menemani proses induksi yang akan aku jalani. Membawa makanan kecil dan minuman kesukaan adalah tips dari teman-teman agar aku tidak kehabisan tenaga saat melalui proses mules-mules nanti.

Sampai di bagian kebidanan, aku dicek terlebih dahulu oleh para bidan, yaitu cek detak jantung janin, cek aktivitas janin, cek kontraksi rahim dan cek bagian dalam alias jalan lahir. Sebelum proses induksi dilakukan, aku diminta makan terlebih dahulu untuk persediaan stok tenaga (padahal di rumah juga udah sarapan). Begitu hasilnya sudah ada, bidan kemudian melaporkannya ke dokter kandunganku sebelum benar-benar dilakukan induksi.

Sesaat kemudian bidan sudah kembali ke ruangan di mana aku berada dan menyampaikan bahwa dokter menginstruksikan supaya aku langsung disesar aja. Oh yayaya bidan.

What! Langsung sesar?! *camera zoom in zoom out *adegan diulang 3x kayak iklan obat panu

Tapi kenapaaa bidaannn? Tolong jelaskan! *sambil menggoncang2kan tubuh bu bidan *ampun deh mulai drama gini...

Eh tapi beneran aku terkejut mendengar instruksi dokter itu. Sampai sempat terdiam beberapa saat. Kata bidan, karena kondisi janin sehat dan aktif tapi kontraksi lemah dan janin tidak juga masuk ke panggul, maka dokter mengkhawatirkan memang panggul sama kepalanya janin itu gak pas. Takutnya percuma aja walaupun diinduksi.
Yah, bukannya sok drama sih. Sebagian wanita modern tertentu mungkin menganggap sesar itu sebagai pilihan utama malah daripada melahirkan normal. Karena tinggal terlentang keluar lah si bayi. Yah masalah utamanya karena harapan besar kami, anak kami bisa lahir melalui persalinan normal.

Sempat bertanya sama dokter yang kemudian juga menghampiri untuk menjelaskan keadaanku, apakah operasi itu dikarenakan aku kurang berlatih sujud dan berjalan kaki. Tapi kata dokter bukan karena itu, operasi diputuskan lebih karena bayi tidak juga masuk jalan lahir. Sebab untuk kehamilan pertama normalnya adalah bayi sudah masuk panggul minimal di usia 36-37 minggu. Beda dengan anak kedua dan selanjutnya, bayi bisa saja masuk panggul tepat sebelum melahirkan, karena jalan lahir sudah pernah dipakai saat melahirkan anak pertama secara normal.

Ah sudahlah, aku dan suami akhirnya memutuskan mempercayai dokter tersebut. Karena dia lah yang memantau kehamilanku dari awal dan Insya Allah lebih tahu yang terbaik. Jangan sampai kami memutuskan sendiri segalanya namun keputusannya terlalu berisiko.

Tepat setelah menyelesaikan makan siangku, alhamdulillah aku sudah mendapatkan alokasi kamar perawatan. Aku diminta puasa makan maupun minum selama 7 jam dan operasi akan dilakukan pukul 19.30 malam. Tujuan diminta puasa adalah agar pada saat dioperasi, jika tidak toleran terhadap obat bius, pasien tidak muntah dan mengeluarkan kembali makanannya serta mengganggu proses operasi. Aku sempat protes karena aku menderita heartburn selama hamil ini, jadi kalau mual justru minimal harus minum air putih. Tapi kalau diminta puasa, bagaimana nasibku saat mual nanti (hiks hiks).

Waktu menjelang operasi, aku isi dengan beristirahat dan berdoa. Beberapa kali aku juga melatih kembali kemampuan relaksasi yang aku pelajari dari senam hamil dan prenatal yoga. Walaupun tidak jadi melahirkan secara normal, bagiku relaksasi dengan menghirup dan menghela nafas panjang, membantu membuatku lebih santai dan mengurangi rasa nervous menjelang operasi. Malangnya, bekal yang kami bawa untuk persiapan persalinan tadi justru menjadi godaan terberat. Mereka seperti melambaikan tangan, minta dimakan (huweeee).

Tepat pukul 17.00, suster datang dan memintaku bersiap-siap. Aku mandi terlebih dahulu agar badan segar, rileks dan lebih bersih dari kuman dan kotoran yang menempel (jiah bahasanya macam iklan sabun). Aku juga sempat solat maghrib, digabung dengan solat isya. Suster menyampaikan bahwa aku sudah harus siap di ruang operasi satu jam sebelum operasi, jadi pukul 18.15 suster sudah menjemput. Suster juga memberikan baju ganti khusus ruang operasi.

Sayang sekali, suami tidak diperbolehkan menemani selama operasi. Tadinya kami berfikir suami boleh mendampingi. Ternyata untuk kondisi mendadak, tidak memungkinkan. Jika ingin mendampingi harus izin direktur Rumah Sakit terlebih dahulu dari jauh hari. Dengan alasan suami juga harus disiapkan untuk disterilisasi kalau ingin masuk ruang operasi. Sedihnyaa…aku harus menghadapi operasi ini sendirian. Aku bilang pada diriku sendiri untuk tetap tegar. Aku pasti bisa!

Terangnya lampu-lampu koridor mengiringi perjalanan kami ke ruang operasi. Suamiku hanya diperbolehkan mengantar sampai depan pintu. Selebihnya hanya suster yang mendorong tempat tidurku masuk beberapa meter dari pintu masuk. Kemudian aku dipindahkan ke tempat tidur khusus ruang operasi. Tempat tidurnya datar dan keras. Dinginnya alas tempat tidur terasa hingga ke kulitku, membuat rasa nervous-ku muncul kembali. Seorang suster memasangkan selang infus ke tanganku. Menyambungkannya dengan dua buah labu. Satu labu diantaranya berisi cairan kuning, katanya akan berguna untuk mengurangi pengaruh obat bius pasca operasi. Duh, ini nih yang membuatku nervous berada di rumah sakit: harus berhadapan dengan jarum infus, maupun jarum-jarum lainnya. Susternya sempat bertanya mengenai rasa mual yang aku derita. Ternyata dia bermaksud menyuntikkan cairan penghalau rasa mual ke dalam selang infusku. Hmmm di dunia kedokteran ini ada aja yaa obat dari macam-macam keluhan.

Beberapa saat setelah suster memasang infus, datang juga seorang petugas medis yang belakangan aku baru ketahui adalah dokter anestesi. Dia menempelken sebuah sticker transparan di lenganku dan berpesan agar jangan dilepas. Konon sticker ini adalah salah satu media pereda rasa sakit, kalau tidak salah hehehe.

Aku masih menunggu sekitar 15 menit lagi sebelum benar-benar masuk ke pintu berikutnya. Dan 15 menit itu, bagiku yang merasa sendirian ini terasa sangaattt lama. Hanya sedikit terhibur dengan tenaga medis berbaju warna warni, hijau, merah, ungu, berlalu lalang sembari ku coba tebak apa saja profesi mereka ini. Sesekali aku lirik papan berisi tulisan-tulisan jadwal jaga dan jadwal operasi. Agak ke arah belakang, ada ruangan pemulihan yang berisi tempat tidur dan peralatan-peralatan lainnya. Tampak jelas pula sebuah pintu besar di sebelah kiriku yang terbuka dan menampakkan ruangan-ruangan lain. Sepertinya aku akan dibawa kesitu.

Benar, tak lama kemudian suster pemasang infus datang dan mendorongku ke ruangan itu. Berdebar kencang jantung ini. Sebentar-bentar ku elus perut ku dan mensugesti diri dengan bayangan bahagia akan segera bertemu buah hatiku. Kurasakan tendangan-tendangan pelan di perut. Mungkin bayiku merasakan hal yang sama.

Setelah masuk pintu besar, perlahan terlihat pintu-pintu besi menuju ruangan lain. Pintu itu bernomor dan memiliki lampu-lampu indikator di atasnya. Bunyi bip-bip-bip menggema di ruangan. Plafon ruangan lebih rendah daripada ruangan sebelumnya dan berrongga. Suhunya pun lebih dingin. Aku di’parkir’di depan sebuah pintu, kemudian ditinggalkan begitu saja untuk 30 menit berikutnya. Kembali kulihat beberapa tenaga medis berseliweran mendorong meja-meja, menyiapkan alat-alat, melipat kain-kain, memeriksa labu-labu infus dan botol-botol cairan. Ku tengok di sebelah kananku terdapat deretan wastafel dan tumpukan busa. Aku kembali menunggu, kali ini ditambah dengan kedinginan yang menusuk tulang. Aku mengisi pikiranku dengan bayangan mengenai proses yang akan aku jalani, sambil melafazkan beberapa doa dan berusaha tetap terjaga.

Di ujung lamunanku, suter pemasang infus mendorong tempat tidurku ke arah lain. Aku sempat mengeluhkan dinginnya ruang operasi. Sang suster hanya menjawab sekenanya saja. Awalnya aku kira pintu di depanku lah yang akan aku masuki, ternyata aku memasuki pintu bernomor satu di arah kanan ruangan. Dokter kandunganku menyambutku. “Selamat datang di teater 1” katanya mencairkan suasana. Riuh ruang operasi menyambutku. Ada sekitar tiga petugas medis lainnya ditambah sang dokter anestesi yang berbincang di ruangan itu. Terdapat rangkaian-rangkaian lampu meja operasi yang membuat ruang operasi itu sekilas memang ‘mirip’ ruang pertunjukan.

Sekitar pukul 19.45, tahapan operasi dimulai, setelah beberapa saat tenaga medis sibuk menyiapkan peralatan operasi. Hal yang pertama dilakukan adalah, penyuntikan obat bius oleh dokter anestesi. Seperti kabar yang kudengar, bius itu disuntikkan di salah satu ruas tulang belakang sekitar panggul, dalam posisi duduk membungkuk, untuk melumpuhkan sejenak saraf separuh tubuh ke bawah. Sebelum disuntik, punggungku diolesi semacam cairan dingin. Ya, aku dioperasi dalam kondisi sadar. Aku sempat membayangkan bagaimana sakitnya disuntik di tulang belakang. Kenyataannya, hanya seperti digigit semut, hahahaha….dan selanjutnya…separuh badan ke bawah seperti kesemutan dan lama-lama ba-al, mati rasa.

Masih berusaha menikmati apa yang sedang terjadi, sang suster pemasang infus sekonyong-konyong mengikat kedua tanganku ke papan panjang. Waduh apa-apaan ini…kata susternya, tangan diikat untuk mengantisipasi reaksi spontan yang bisa saja terjadi. Ya Tuhannn, pasrah aja lah aku… Sejurus kemudian, layar hijau vertikal dipasang di atas dadaku, kain-kain dibentangkan di tubuhku, peralatan logam diletakkan diatas perutku seperti obeng-obeng yang digeletakkan. Sang suster menyuntik lengan kiriku sekali lagi. Dia setengah berbisik meminta izin, aku pun setengah sadar mengiyakan saja. Sementara itu lengan kananku sudah dipasangi alat tensi otomatis yang bunyinya berisik. Di dadaku pun menyusul ditempelkan alat rekam jantung. Di bagian bawah tubuhku dimasukkan selang kateter untuk aliran darah nifas dan air kencing. Semua terjadi sangat cepat.

Dokter kandungan pelan-pelan meraba-raba perutku. Lama-lama rasanya dia seperti menggoreskan pensil di bagian bawah perut. Geli. Aku tertawa berkali-kali dibuatnya. Tiga tenaga medis yang lain mendampingi sang dokter. Mereka mengoperasiku sambil mengobrol, menggosip tentang ini itu, sedangkan aku mencoba menahan geli di antara sisa-sisa kesadaranku. Hawa dingin pun sedari tadi masih berusaha menyusupi kain-kain yang menutup tubuh.

Selesai menggores kulitku, dokter memberi aba-aba untuk memasukkan alat seperti sedotan vacuum cleaner. Terdengar bunyi cairan ketuban disedot. Dokter berucap “hallo cantiikkk, akhirnya bertemu kita”. Lantas dokter memberi aba-aba agar tenaga medis mendorong perutku sekuat tenaga ke arah kaki. Dan aku tertawa terbahak-bahak saking tidak tahan dengan gelinya. Pukul 19.59…


“Öeeekkkkkkkkkk”


Terdengarlah tangisan lantang anakku….lega tak terkira…alhamdulillaah. Dokter pun menyelesaikan pekerjaannya. Terasa bau seperti daging terbakar dan keluar asap, mungkin semacam dijahit pakai laser perutku ini.

Sambil dijahit, salah satu tenaga medis menunjukkan bayi kecilku. Aku belum sepenuhnya percaya bahwa akhirnya aku dan suamiku diamanahi bayi kecil ini. "ïbuu, selamat atas kelahiran bayinya. Kita langsung lakukan inisiasi menyusu dini yaa buu”. Ditempelkanlah bayiku di dadaku, untuk mendapatkan air susu pertama kalinya. Subhannallaah…

Selesai dijahit, seluruh peralatan yang menempel ke tubuhku dilepas kecuali infus. Aku didorong ke ruang pemulihan dan disemprot udara hangat ke bawah selimutku. Pemulihan memerlukan waktu satu setengah jam sebelum aku diperbolehkan bertemu bayiku. Sayup-sayup kudengar tangisan kerasnya. Salah seorang kerabat yang menemaniku di ruang pemulihan mengatakan bahwa bayiku sedang diukur dan diidentifikasi data-datanya di ruang kebidanan.

Operasi sesar sudah aku jalani. Selama dirawat 3 malam di rumah sakit, aku diminta berlatih tidur posisi miring, duduk, berdiri hingga berjalan. Harus dilatih agar kulit di sekitar jahitan tidak terlanjur kaku. Luka jahitan bagian luar akan kering dalam waktu kurang lebih 2 minggu, namun jahitan dalam kemungkinan membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua bulan untuk pulih, sehingga aku tidak boleh mengangkat barang-barang berat dan tidak diizinkan beraktifitas berlebihan. Alhamdulillaah 3 hari pertama pemulihan, kondisiku tergolong normal dan baik. Tekanan darah normal, Hb pun normal. Bayiku juga normal semuanya, termasuk billirubinnya. Sehingga kami sudah boleh pulang di hari minggu.

No comments: