Tuesday, October 06, 2009

Dia yang Tak Pernah Mengeluh


Sudah dua tahun ini, setiap lebaran di kampung halaman, aku bersama saudara sepupuku mengunjungi makam 'emban' kita waktu kecil dulu, mendoakan untuk arwahnya. Dia meninggal mungkin empat atau lima tahun yang lalu.

Lama sebelum dia meninggal -mungkin seumur hidupnya, dia abdikan untuk melayani keluarga kami, keluarga nenekku lebih tepatnya. Nenek dengan 12 anak dan bejibun cucu -kini nenek sudah memiliki cicit malah.

Sekitar sepuluh tahun sebelum dia meninggal, punggungnya bungkuk. Tak ada yang tahu kenapa.

Tapi itu tidak penting.

Hal yang paling aku ingat adalah senyumannya.
Entahlah, aku membayangkan bagaimana dulu dia mengasuh hampir sebagian besaranak dan cucu-cucu nenek yang masih kecil serta memiliki bermacam watak dan karakter. Aku ingat bagaimana ketika dia mengasuh adikku, aku yang waktu itu baru berumur 5 tahun, lagi marah sama dia yang malah melindungi adikku. Aku sampai mengacungkan kursi, berniat memukulnya. Tapi dia hanya tersenyum.

Di masa tuanya, alih alih tinggal di rumahnya sendiri, dia menghabiskan hidupnya di rumah nenekku, tak mau lagi mengasuh anak-anak. Kami: aku dan saudara sepupuku selalu kangen sama dia. Jika kami bertemu dengannya yang keluar dari mulutnya hanya doa untuk kami, semoga menjadi orang yang berguna bagi bangsa dan agama. Suatu kali aku menemukannya berdoa usai sholat di atas sajadah merah kusutnya, menangis memanjatkan doa.

Dia selalu tersenyum, tak pernah mengeluh terhadap apapun. Meski punggungnya bungkuk, aku ingat dia tetap disiplin membawa ceret penuh air tiap pagi untuk dididihkan dan menyeduh teh.

Mbah Ito, kini 'cucu-cucu' yang kau asuh telah menjadi orang seperti yang kau harapkan. Doa kami selalu menyertaimu.