Wednesday, March 10, 2010

Akankah aku mengingkari janji?

Ahahahaha, ini hanya sebuah cerita ringan kok. Mengenai si Biru, ponselku yang telah aku gunakan selama kurang lebih 10 bulan. Aku membelinya tentu saja karena fitur-fiturnya yang komplit, mengingat ponselku sebelumnya masih sangat terbatas kemampuannya. Aku pun telah melakukan survey mengenai ponsel tersebut, sangat terpana akan berbagai kelebihannya, sayangnya aku tidak mengindahkan kekurangannya yang lumayan krusial yaitu mudah 'hang'.

Belakangan ponselku memang sering hang, tapi aku cuek. Soalnya tinggal direstart atau cabut-pasang batere, beres deh. Foto-fotoku juga mulai susah diakses, tapi aku tetap cuek. Bahkan dua minggu sebelum kutulis ini, layar ponselku sudah berkedip-kedip gak jelas, hah aku masih cuek. Akhirnya, pada suatu malam minggu ponselku mati total.

Sedih, pasti! Pasrah, iya juga sih... pasalnya aku sedang ada tugas di luar kota waktu itu. Apa yang bisa kulakukan. Janji dengan teman berantakan karenanya. Perjalanan balik ke Bandung pun garing karena tak ada ponselku. Tapi gak papa, aku berhasil bersabar. Sabar itu nikmat juga rupanya.

Senin malam, aku mengantarkan ponselku ke tempat servis. Aku ternyata harus menunggu 2 minggu untuk bisa menggunakannya kembali, dengan catatan jika ponselku bisa berfungsi normal. Konsekuensi lain yang harus kuhadapi adalah ludesnya data-dataku di dalamnya.

Di tengah semua kondisi itu, aku berpikir ambisius untuk membeli ponsel baru. Tak punya uang? tidak masalah. Aku bisa meminjam ke temanku. Tapi tunggu dulu!

Aku menarik nafas, kurasa ini bukan satu hal yang baik. Bukankan ini terlalu terburu-buru? Okee...lagi-lagi aku berhasil bersabar, menunda keputusan.

Hari berikutnya aku mencoba mencari info mengenai ponsel yang aku inginkan untuk mengganti si Biru. Tapi kali ini aku memprioritaskan pada kelemahannya. Ow ow, ternyata dia juga sering hang daaan masih banyak lagi kekurangan lainnya.

Aku akhirnya konsultasi pada temanku mengenai ponsel tipe si Biru dan menceritakan semua pengalamanku dengannya. Aku baru saja menyadari di mana letak kesalahanku : aku menginstall aplikasi ilegal di dalamnya, tidak memback-up data-data termasuk phone booknya dan tidak mengupgrade sistemnya. Dia bilang, "kalau sudah diservis dan direinstall, tidak masalah kok digunakan lagi, asal kamu tidak mengulangi hal-hal tadi".

Aku merasa menjadi orang yang paling bodoh dan ceroboh di dunia. Tapi aku bersyukur kini aku telah belajar untuk bersabar dan tidak tergesa-gesa. Teknologi apapun di dunia ini pasti punya kelemahan, kalau kita memandang pada kelebihan-kelebihannya tak ada habisnya kita butuh uang untuk membeli yang baru. Ini setali tiga uang dengan filosofi "manusia tak ada yang sempurna". Jadi selama si Biru masih bisa dipakai, aku berniat setia padanya.

Di akhir perenunganku aku ingat janjiku pada diri sendiri kala membeli si Biru: Aku tidak akan membeli ponsel lagi selama tiga tahun kedepan!

Mari kita lihat pembuktiannya...

3 Guru

Temans, aku menyimpulkan beberapa hal kecil tapi memiliki arti dan mudah-mudahan bisa aku atau kalian jadikan pegangan dalam hidup. Menurutku ada tiga sumber pembelajaran sederhana dalam hidup ini. Bisa juga kita sebut ’Guru Sejati’ tapi orang seringkali melupakan mereka karena sifat egosentrisnya

Masa Lalu

Sebagian orang bilang, kesalahan atau kegagalan merupakan guru terbaik untuk meraih sukses. Tapi aku bilang mereka adalah bagian dari soko guru bernama Masa Lalu. Salah seorang teman pernah berkata, keledai saja tidak jatuh dalam lubang dua kali –meski belum pernah membuktikan sih, trus kenapa kita kadang susah belajar dari masa lalu?

Jawabannya adalah kenyamanan kita berada dalam kedok bernama ’kebiasaan dan karakter’ (cieehhh kata-katanyaa ngga nguatin). Iyah soalnya aku sendiri merasa ketika aku memiliki kebiasaan sangat terbuka, terlalu jujur dan polos ketika berhadapan dengan orang, meskipun aku merasa ini yang terbaik, tapi ternyata tidak. Seharusnya aku bisa lebih menjaga dan mengendalikannya demi kebaikanku. Sebisa mungkin aku perbaiki kebiasaan-kebiasaan kita yang kurang menguntungkan.

Aku pernah berdiskusi mengenai kebiasaan-kebiasaan yang akhirnya membentuk karakter. Salah seorang sepupuku bilang ”Aku kan sering dimanja orangtuaku waktu kecil, jadi ya bukan salahku kalau aku kekanak-kanakan dan kalau pengen sesuatu musti keturutan”, atau kisah sahabatku yang bilang ”Aku ini cuek dan egois, mungkin bawaan dari kecil yang kurang perhatian dari Ayah dan Ibu akibat mereka serius sekali bekerja”.

Bila aku bandingkan diriku dengan mereka, alhamdulillah aku diasuh dengan penuh perhatian dan prinsip bahwa bila menginginkan sesuatu harus dengan usaha dan melihat kemampuan diri. Jadi aku juga tidak menyalahkan mereka.

Tapi bayangkan saja, ketika dalam situasi resmi misalnya meeting dengan klien, sepupuku bersikap kekanakan? Atau saat kencan pertama sahabatku cuek pada cewek yang dia ajak kencan?

Maka dari itu kita lebih berani menyesuaikan diri. Harus berani mengatakan, aku sadar bahwa aku kekanakan atau aku cuek jadi aku akan mengendalikan kebiasaanku itu tergantung situasi dan kondisinya. Perubahan adalah keniscayaan. Tidak harus berubah 180 derajat, tapi dari masa lalu, kebiasaan-kebiasaan atau karakter; kita bisa lebih mengenal diri dan fleksibel berada di dalam kondisi apa pun

Orang Lain

Seringkali kita hanya bisa membicarakan dan mengeluhkan kekurangan orang, tanpa menjadikan pembicaraan itu bermanfaat buat kita. Maksudku, akan lebih bermanfaat apabila sebelum membicarakan atau setidaknya pada saaat membicarakan hal itu kita kembalikan dulu ke diri sendiri. Apakah kekurangan tersebut ada juga pada kita, bagaimana caranya supaya kita tidak seperti dia dan mungkin apa yang bisa kita lakukan untuk memberikan masukan untuk si orang yang dibicarakan tanpa menyinggungnya.

Ada pepatah mengatakan, orang cerdas belajar dari kesalahan diri sendiri tapi orang bijak belajar dari kesalahan orang lain. Belajar dari orang lain pun bukan hanya soal kekurangan, tapi juga menjadikan kesuksesan orang lain sebagai motivasi untuk mempelajari cara-cara dia sukses.

Kita bisa belajar bersyukur melalui orang lain. Ketika teman sedikit mengeluh suaminya yang bekerja di Kalimantan dan hanya pulang sekali sebulan, dia harusnya membandingkan dengan teman yang lain yang suaminya kerja di Papua dan hanya pulang 3 bulan sekali. Itupun hanya karena tugas kantor dan harus menempuh beberapa kali rute perjalanan. Atau dia harus lebih bersyukur karena masih banyak yang sampai saat ini belum memiliki suami

Kitab

Apapun agama kita, pasti ada sesuatu yang dijadikan pedoman, biasa disebut kitab. Mengapa kitab bisa jadi guru? Karena kitab (saya merujuk pada kitab saya dan beberapa hal yang saya ketahui tentang kitab agama lain) berisi kisah masa lalu, amanah masa kini dan ramalan masa depan. Kalau saya salah mohon dikoreksi.

Saya mengalami suatu keajaiban kecil. Ketika saya ada masalah, lalu saya mencoba membaca kitab agama saya dan sekaligus terjemahannya. Aneh, banyak solusi saya temukan di situ. Beberapa memang tersirat, tapi tak sedikit juga yang tersurat dengan jelas. Karena itulah saya semakin yakin, bahwa kitab suci bukan hanya simbol agama semata, bukan hanya sesuatu yang wajib dipedomani, tapi intisari kehidupan termaktub di situ.

Jadi kitab suci adalah salah satu guru yang luar biasa, meskipun dia pasif, alias kita harus baca dulu baru kita tahu ajarannya.

Temans sekali lagi semua itu hanyalah pendapatku. Beberapa kisah memang ku ambil dari kisah-kisah terdekatku, jadi maaf kalo ada yang ngerasa kisahnya dipake. Hehehe.