Thursday, December 04, 2014

Masalah Selama Kehamilan? (Diary Bumil Polos Bagian #2)

Kehamilan saya memasuki minggu ke 12. Segala hal berlangsung santai seperti di pantai. Walau di pantai tidak sesantai yang saya katakan mungkin. Yah, kenyataannya ada juga secuil-dua cuil kejadian. Kejadian yang jamak adalah perut kembung, semacam terjadi peningkatan asam lambung yang drastis semenjak hamil dan bikin saya lumayan tidak nyaman.

Konon meningkatnya produksi asam lambung pada ibu hamil wajar, disebabkan bertambahnya produksi hormon kehamilan (oh gosh, pregnancy is all about hormonal matters). Solusinya tentu dengan menghindari penyebab perut kembung. Bagi yang sering menderita maag, akan familiar terhadap treatment ini (dan kebetulan saya adalah salah satunya).

Menghindari minum kopi dan konsumsi coklat berlebih (yang mana saya adalah penggemarnya), menghindari minum teh berlebih (walau masih diizinkan, apalagi kalo ditambah jahe itu bikin hangat perut ibu hamil, kenyataannya setiap hari ada saja waktu saya minum teh, hehehe), menghindari kacang-kacangan (jadi eneg juga sih pas hamil, terutama sama sambal kacang temannya pecel, baso tahu, kupat tahu dan batagor, asli saya jadi menghindari makanan-makanan tersebut) dan amat sangat mengurangi konsumsi makanan pedas dan berkuah kental (ampuuunnnn padahal saya penyuka makanan pedas).

Sama seperti treatment pada penderita maag, makan sedikit tapi sering lebih nyaman daripada makan tiga kali tapi banyak, apalagi makan terus dan banyak (yaeyaaalaahh). Lagian jadi bumil tu cepet laper mana bisa makan hanya tiga kali (kemudian terdengar gumaman dari sebelah: perasaan si Hanna gak hamil aja juga makan terus, wkwkwk). Tips bu bidan adalah sediakan cemilan yang agak-agak sehat di rumah maupun kantor, jadi saya sekarang ceritanya adalah penyetok setia berbagai jenis biskuit.

Selain perut kembung, masalah lain adalah sugesti otak terhadap enak tidaknya makanan. Tapi sodara-sodara, sekali lagi itu adalah sugesti. Karena anehnya makanan yang dianggap otak saya ngga enak, tapi pas dimakan, menurut lidah saya kok enak yaa. Kayaknya ini masalah gak penting. ==> masalah mana sih buat ibu hamil yang penting, orang mirip menstruasi kok indikasinya, cuma ini berlangsung lebih lama.

Hidung dan lidah yang lebih sensitif mungkin juga salah satu diantara banyak hal ihwal kehamilan ini. Oiya ada juga persoalan keputihan, lagi-lagi ini juga masalah hormon dan wajar. Yah, sepertinya kehamilan saya saat ini memang termasuk kehamilan cuek bebek. Kalau kata teman-teman, kehamilan kebo. Karena, syukur alhamdulillah, saya tidak merasa mual, tidak muntah dan tidak ngidam. Bayinya pun tidur terus di perut dong, orang bilang kayak ibunya. Ah perasaan saya bukan orang seperti itu.

Kesimpulannya, mohon maaf pada blogger yang berharap dapat tips-tips kehamilan yang banyak dari saya, soalnya yaa gimana mau ngasih tips, wong saya aja cenderung cuek dan kelihatan adem ayem pas hamil ini. So all I wanna say is...have a fun pregnancy moms! :)

Wednesday, November 05, 2014

Ada Dedek di Perutku (Diary Bumil Polos Bagian I)

Kita semua tahu bahwa pertanyaan mendasar selanjutnya dalam hidup, setelah kita menikah adalah: udah isi belum? Yakinlah, pertanyaan yang sama pun saya peroleh setiap saat dari berbagai kalangan manusia.

Saya termasuk dalam golongan kaum wanita yang ingin hamil dan melahirkan anak. Dalam ketenangan saya menjawab setiap pertanyaan sebetulnya tersimpan kegundahan yang luar biasa tentang kapan kah kiranya Tuhan mengizinkan saya menggendong amanahNya tersebut. Menyaksikan kawan-kawan dekat banyak yang belum juga dikaruniai buah hati setelah sekian lama mereka menikah, membuat pikiran saya kadang ngelantur juga ke mana-mana. Ada juga kawan yang menikah setelah saya, eh udah hamil aja. Yah walau saya baru menikah 5 bulan, gak boong juga kalau lumayan kepikiran hal ihwal hamil ini.

Kendati saya galau melow marshmellow, namun saya mencoba meyakini satu hal: rejeki untuk dikaruniai anak itu, sama hal-nya dengan jodoh, ya jadi rahasia Tuhan. Mau cepet, mau lama, mau gampang mau susah adalah kehendak Yang Maha Kuasa. Jadi saya percaya, Tuhan akan memberikannya pada waktu yang tepat. Yah itung-itung saya sama suami menikmati masa pacaran dulu karena perkenalan kita yang begitu singkat mungkin masih diperlukan semacam asimilasi dan akulturasi gitu #halahhh.

Tuhan rupanya tidak terlalu lama membiarkan saya termangu tidak jelas. Dua hari yang lalu, setelah terlambat haid hampir 1 bulan, saya memberanikan diri membeli alat tes kehamilan alias testpack. kenapa saya sebut memberanikan diri? karena jujur sudah beberapa kali 'disangka' hamil, beberapa kali pula tes kehamilan dan beberapa kali pula negatif, agak bosen juga. Apalagi kalau udah dengan bersemangat dibawa tes ke klinik dan alhasil masih aja negatif. Walau ga masalah, tapi malu juga saya, kok kayaknya jadi ngebet pengen banget hamil ==> lah emang pengen :P

Tapi tapi....kali ini positif pemirsahhh....*tiba-tiba ada suasana cetar membahana di kamar mandi saat itu. Berhubung saya orangnya ga ekspresif yaa akhirnya datar-datar aja sih rasanya melihat dua garis merah di testpack itu. Bersyukur? pasti, senang? tentu. Hanya saja yang terpikir oleh saya adalah makhluk ini akan menjadi tanggungjawab saya selama sembilan bulan lebih di perut ini. Setelah lahir, akan menjadi tugas saya dan suami untuk mendidiknya. Tidak mudah. Apa yaa...ini benar-benar bukan perkara saya akhirnya hamil, tidak...bahkan lebih dari itu.

Satu hal yang pasti, saat Tuhan kasih calon bayi ini pada saya dan suami, berarti Dia percaya bahwa kami bisa diberi anugerah ini, bahwa kami bisa mengemban tugas berat membentuk generasi selanjutnya yang hebat dalam keluarga kecil kami. Itulah kepercayaan yang menguatkan saya.

Sesaat setelah mengetahui kabar gembira itu, saya menyampaikannya pada keluarga, pada saudara dan sahabat, dan mohon doa restu mereka agar calon bayi ini sehat. Habisnya pas juga suami lagi bertugas di hutan belantara nan tidak ada sinyal, jadinya gak bisa ngabarin dia. Kemudian, mulai mendengarkan aliran nasehat-nasehat dari handai taulan yang membuat saya merasa lebih kuat mengetahui banyak yang sayang sama saya dan gembira dengan kehamilan ini.

Jika ada yang bertanya, gimana kok sampai bisa hamil? Kebanyakan saya menjawab 'tidak tahu'. Yaa karena bagaimanapun itu kehendak Tuhan. Soalnya, 5 bulan yang saya lalui pasca-menikah sungguh adalah 5 bulan yang melelahkan dengan rangkaian kegiatan keluarga dan pekerjaan yang sangat padat. Yang saya lakukan lebih banyak pasrah, menyerahkan segalanya kepada Yang Kuasa, sambil tetap berusaha. Oiya, suami saya waktu itu sering minum susu sapi kemasan satu liter itu yang rasa plain tiap hari. Dicoba saja, siapa tahu bisa membantu, karena ada satu artikel yang menyebutkan bahwa susu menyehatkan sperma, sehingga dia bisa berenang dengan kuat ke tuba falopi (kalo gak salah sebutannya begitu hehehe).

Demikian catatan saya yang pertama, semoga saya tidak segan menuliskan catatan-catatan selanjutnya :)

Thursday, October 23, 2014

Perbincangan yang Berbeda

Berbicara dengan orang baru sesekali, ternyata cukup memberi penyegaran terhadap pikiran saya. Tidak perlu dengan orang yang benar-benar baru dikenal, berbincang dengan teman sekantor, beda lantai dan jarang saya temui pun bisa membuat saya memiliki perasaan semangat yang berbeda.

Saya pernah mendapat insight dari seorang sarjana psikologi bahwa tiap manusia itu punya lingkaran-lingkaran pertemanannya masing-masing (circle of relationship), dari innermost circle (lingkaran terdalam), yang berisi orang-orang terdekat, paling sering bertemu dan berinteraksi; hingga outtermost (terluar) yang terdiri dari orang-orang yang sedikit dikenal dan jarang berinteraksi. Pasangan, sahabat dan keluarga bisa jadi masuk dalam innermost circle untuk kebanyakan orang.

Anggota innermost circle ini menurut saya adalah yang paling mempengaruhi pemikiran seseorang, mempengaruhi bagaimana ia mengambil keputusan, cara bersikap dan membentuk kebiasaan-kebiasaan berkelompok dari orang tersebut. Misalnya saya dan teman-teman kerja yang dekat dengan saya dan hampir tiap hari kami makan siang bersama. Saya menjadi terbiasa hang-out dengan mereka di tempat hangout yang sama. Saya membicarakan berbagai macam kejadian bersama mereka. Ketika saya mengalami kesulitan pun saya menanyakan pendapat mereka. Mereka secara tidak langsung 'terlibat' dalam hampir kebanyakan kualitas kehidupan saya.

Membiasakan untuk mengambil sudut pandang diluar innermost circle maupun inner circle saya, terkadang seperti yang saya sebutkan di atas, saya mencari penyegaran dengan berbincang dan bergaul dengan teman-teman dari lingkaran-lingkaran luar dan orang-orang yang baru saya kenal. Kadang dari mereka-mereka inilah saya bisa tiba-tiba berucap "wow, seru sekali pemikiran orang ini, boleh dicoba juga" atau "wah, dia ternyata punya kemampuan seperti ini".

Memutuskan untuk berbincang dengan outter circle dan orang baru bagi saya pribadi, adalah seperti latihan keluar dari zona nyaman. Jujur, saya sebenarnya adalah orang yang malas berbasa-basi atau bersikap eksis dalam hal membuat pertemanan baru, sehingga ketika bertemu orang-orang baru, lebih banyak seperti dipaksa oleh keadaan untuk menjalin komunikasi atau hubungan.

Mungkin ini sama halnya ketika saya ditanya, suka travelling atau gak? saya akan menjawab "yaa suka tapi tidak gemar, sekali dua kali setahun boleh lah". Mengapa saya sambungkan dengan travelling? karena travelling bagi saya merupakan kegiatan keluar dari zona nyaman, dikarenakan kerepotan untuk mengurus ini itu, pesan tiket pesan penginapan, packing baju, belum lagi menabung untuk biaya perjalannnya.

Tapi boleh lah, memberikan tantangan untuk diri sendiri mengenal dunia luar dengan travelling dan kembali ke pembicaraan kita, yaitu memberikan penyegaran dengan berinteraksi dengan outter circle. Kendati setelah melanglang buana, kita tetap butuh sesuatu yang disebut rumah sesungguhnya. Persis, meski melakukan penyegaran dengan interaksi lain, kita tetap butuh orang-orang yang disebut "keluarga dan sahabat".

Walau, kadang dengan travelling kita jadi berfikir pindah tempat tinggal untuk sesuatu yang lebih baik. Begitu pula dengan innermost circle kita, jangan ragu berpikir untuk hijrah jika memang kita menginginkan sebuah 'pengaruh' yang lebih baik lagi.

Wednesday, August 20, 2014

How I met my husband (HIMMH)

Bulan Agustus 2014. Tanpa terasa sudah setengah tahun sejak postingan terakhir di blog ini. Tentu banyak hal terjadi, banyak pengalaman terlampaui, pun banyak cerita yang semestinya bisa dibagi. Namun apa daya ketika keinginan menulis yang memuncak tiba-tiba sirna di depan layar komputer tergantikan dengan setumpuk pekerjaan dan satu dua janji yang harus dilunasi.

Alkisah selama 6 Bulan, secara signifikan hidup saya berubah. Perubahan ini bahkan tidak pernah terpikirkan sama sekali di awal tahun, saat saya dengan sedikit enggan memasang kalender 2014. Enggan karena pertanyaan: "mau ngapain saya di tahun 2014 ini?".

Seonggok rencana saya pilah-pilah di kepala saya. Demi membangkitkan kembali gairah saya dan mengusir keengganan, saya memikirkan rencana saya menghabiskan tabungan di 2014, antara mau berlibur ke luar negeri, ke dalam negeri, atau umroh saja. Lumayan, setidaknya pikiran itu bisa sedikit mengobati kegundahan saya akan pertanyaan saya yang sebenarnya di tahun 2014: akankah saya tetap mengarungi tahun ini sendirian saja? (#eaaa #pertanyaan sebelumnya hanya pengecoh)

Ternyata untuk tahun ini, Tuhan menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang berbeda. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang jawabannya hanya seputar begini:
2008 - maen-maen aja dulu laah,
2009 - belum waktunya,
2010 - sabar yaa,
2011 - bukan dia,
2012 - tetap berusaha yaa,
2013 - ditambah lagi sabarnya,
Yah, saya bersyukur, setidaknya jawaban Tuhan bukan: ZONK!!! hahahaha...

Hari itu, tanggal 19 Januari. Saya benar-benar tidak menyangka akan dipertemukan dengan orang yang telah disiapkan Tuhan untuk saya. Sama seperti sebelumnya, saya hanya membuka halaman saya selanjutnya dengan judul yang sama: "Tetap Semangat Berusaha", tapi yang ini udah bagian ke 108, dududududu. Usaha yang sama tapi beda target (saya kasih sebutan 'target' biar ada yang senyam-senyum puas membaca tulisan ini).

Target kali ini datangnya dari hutan.
HUTAN?
Iya, memang cukup unik, karena targetnya adalah seorang perambah rimba dan pendaki gunung. Dia adalah trainer saya dan teman-teman waktu kita mengadakan pelatihan Basic Survival sekitar satu setengah bulan sebelumnya. Pertemuan hari itu bertujuan untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada organisasinya yang telah bersedia membantu kami mengadakan pelatihan.

Teeettt salah! Koreksi!

Pertemuan hari itu bertujuan untuk mendapatkan jawaban apakah pelatih yang menjadi target saya, masih bujang atau tidak, dengan berkedok menyampaikan ucapan terima kasih kepada organisasinya yang telah bersedia membantu kami mengadakan pelatihan.

Saya tidak sendiri. Ada Widya, sahabat saya, sekaligus penasehat spiritual. Ada Bang Razas, selaku juru bicara kenegaraan dan perwakilan perkumpulan makcomblang. Ada juga anak Bang Razas, selaku pengalih perhatian dikala diperlukan. Satu lagi, ada ian sebagai pengalih perhatian kedua, disebabkan oleh ketertarikan dia yang sangat terhadap organisasinya sang target, jadi setidaknya bisa mengeluarkan pertanyaan yang agak-agak penting.

Setengah jam pertama habis dengan pembicaraan basa-basi, yang basinya sampai tercium radius 1 km dari TKP. Hampir seluruh setengah jam kedua, habis juga dengan pembicaraan basa-basi.

Lohh, kapan pembicaraan yang tidak basa-basinya? Yaa kira-kira 10 menit sebelum pertemuan selesai. hehehe...

Saya dengan suksesnya kehabisan kata-kata sehingga lebih memilih diam. Takutnya kalau bicara yang keluar malah isi satu buku Kahlil Gibran yang isinya tentang cinta. (astagaa, gombal banget yaa saya) hehehe...Namanya juga sedang bertemu 'target'.

10 menit yang saya bicarakan tadi, seperti ini ilustrasinya:

- 5 menit -
(semua peserta pertemuan terdiam, sudah tidak punya bahan pembicaraan)
----
- setelah itu -
Bang Razas : Kang Topan sudah berkeluarga?
(jeda selama satu menit, sebelum target menjawab)
Kang Topan: belum
Bang Razas : oooooo (lalu menunduk, kembali serius memandangi layar ponsel)
----
4 menit selanjutnya terjadi percakapan dalam hati masing-masing

Saya : buset dah, bang razas tanpa angin tanpa hujan....eh tapi seneng juga ternyata si doi masih belum nikah
Widya : loh kok habis nanya, bang razas diem aja, keadaan jadi kikuk gini
Ian : duh boleh gak yaa sama si bos aku daftar organisasi ini (memang ni anak yang paling beda pikirannya)
---
Sejurus kemudian widya menyelamatkan suasana,
Widya : eh anak abang ini berapa umurnya? (sambil mengelus kepala anaknya bang razas)

Ya, begitulah, reka ulang kejadian hari itu. Ceritanya, teman-teman saya lah yang menjodoh-jodohkan kami, sampai dibela-belain menyusun pertemuan sebagai kedok langkah awal PDKT.

Rupanya tangan saya tidak bertepuk sebelah. Menurut konfirmasi saya sendiri kepada sang target setelah pertemuan itu, sesungguhnya dia sudah tertarik dengan saya waktu menangkap saya pas terjatuh di sebuah parit ketika kita keluar dari hutan. (benar sekali, seperti adegan dalam sinetron atau film-film korea) Adegan tersebut terjadi pada tanggal 8 Desember tahun sebelumnya. Setelah itu, sama sekali kami tidak bertemu lagi. Hanya kuasa Tuhan-lah yang mempertemukan kami kembali, satu setengah bulan kemudian, dengan benih-benih ketertarikan yang masih tersimpan rapi di hati.

Tak perlu waktu lama, 10 hari berikutnya kami menyepakati melanjutkan benih-benih itu, memperjuangkannya hingga level pernikahan, dengan keyakinan meski Tuhan yang menentukan, tetap kita yang mengusahakan. Bismillah.

Rupanya Tuhan telah menuliskan kisah kita, dilancarkan-Nya hingga pelaminan. Keluarga pun menyambut gembira dan merestui, pernikahan direncanakan tanpa hambatan berarti, rejeki juga mengalir kendati kami hanya punya waktu singkat untuk menyiapkan semuanya. 17 Mei kami sah menjadi sepasang suami istri.

Hingga sekarang, saya masih diliputi rasa tidak percaya. Inilah bukti, bahwa Tuhan Maha Kuasa, Maha Pembolak-balik Hati, Maha Memberi, Maha Pengasih dan Penyayang.

Sampai akhirnya saya mengalami sendiri bagaimana cara saya dipertemukan dengan suami saya, saya pun sama galaunya, sama tidak percayanya dengan nasehat-nasehat semacam ini :

- kita yang merencanakan, Tuhan yang menentukan
- agar diberi jodoh yang terbaik, kita juga harus memperbaiki diri kita sesuai dengan jodoh yang kita harapkan (iya sih, lebih sering kita menuntut orang yang baik tapi kita sendiri sebenarnya belum baik)
- semua akan indah pada waktunya, tidak tahu bagaimana (habisnya kata-kata ini begitu absurd)
- jangan berharap selain kepada Tuhan (karena saya seringkali menggantungkan harapan pada orang)

Setelah 3 bulan saya menapaki tangga-tangga awal rumah tangga dengan sang target, sejauh ini memang dialah manusia terbaik yang disiapkan untuk menjadi pendamping saya. Karena hampir tiap hari saya selalu berucap "Ya ampun, kok Tuhan tahu sih kalau saya pengen suami yang seperti ini". Dan mudah-mudahan saya selalu bisa bilang begitu sampai nantiiiii kita bertemu lagi di surga.

Satu hal yang saya syukuri juga, setidaknya kami bertemu di hutan dimana waktu itu kami sama-sama kucel, belepotan lumpur, ngga mandi 3 hari 3 malam, mencoba untuk survive. (eh ada hubungannya gak sih?)

Sekian cerita saya kali ini, terima kasih telah menyimaknya.



Monday, January 13, 2014

Surat Cinta untuk Adikku

Ada perasaan bergejolak mendapati kini adikku hampir berusia 25 tahun. Seorang lelaki seperempat abad yang kini sedang mencoba menaklukkan ganasnya ibukota. Mencari sesuap nasi, sebongkah berlian, selaksa kehidupan dan secercah jati diri. Dulu ia hanya seorang adik kecil yang sangat hiperaktif, ingin tahu segala hal, tak pernah mau kalah dengan kakaknya.

Masih lekat di ingatanku, betapa sebalnya aku terhadap adik kecilku waktu itu. Apapun yang aku punyai direbutnya. Tak pelak kami harus saling dorong dan diakhiri dengan jerit tangis yang membuat ibu marah hingga kemudian mencubit kami.

Betapa merepotkannya adikku itu ketika kami menuntut ilmu di sekolah dasar yang sama. Aku harus mengurusnya dan kadang membelanya saat ia ketakutan menghadapi teman-teman jailnya. Para guru pun selalu memanggilku apabila terjadi sesuatu dengan adikku itu. Dia selalu mengikuti kemana aku pergi. Bila aku merencanakan keluar rumah tanpa sepengetahuannya dia pasti merengek-rengek minta diajak.

Suatu kali, aku, adikku dan salah seorang temanku pulang dari solat di masjid kampung. Sembari berjalan pulang, kita membicarakan tentang motto hidup masing-masing.

Adikku dengan lantang bicara "Kak! Moto hidupku adalah kunci orang yang sukses itu meniru orang yang sukses!".

Sungguh motto yang tidak biasa untuk anak usia sekolah dasar. Dibanding motto hidupku "Hidup penuh misteri", sepertinya motto hidupnya lebih 'WAH'. Lagian, aku hanya mengutip motto hidupnya salah seorang tokoh film seri yang aku gemari. Kenapa adikku bisa memikirkan motto hidup yang lebih hebat.

Antara ingin membuktikan motto hidupnya atau hanya kebetulan, adikku ini selalu saja mendaftar sekolah di sekolah yang sama dengan yang aku masuki. Sekolah unggulan di daerah kami. Meski kita akhirnya kuliah di universitas yang berbeda. Sebenarnya, yah sekalian sedikit menyombongkan diri sebagai seorang kakak, hehehe. Adikku berjuang dengan segenap usahanya untuk bisa masuk sekolah-sekolah unggulan tersebut.

Kejadian yang aku ingat betul waktu adikku menempuh pendidikan sekolah menengah atas adalah ia merasa dikucilkan oleh temannya. Sebenarnya aku tidak mengerti kenapa teman-temannya mengucilkannya. Apa karena dia bergabung di organisasi religius di sekolahnya lantas teman-temannya tidak suka dengan adikku, atau karena hal lain.

Tapi kehidupannya di bangku kuliah berbeda 180 derajat dengan masa-masa SMAnya. Dia punya banyak teman dan terlihat sangat bahagia dengan pencapaiannya itu. Adikku ini kalau aku amat-amati memiliki rasa setia kawan yang besar. Dan aku bangga dengan hal itu.

Kini dunia kerja menjadi tantangan selanjutnya bagi adikku, apalagi di kota besar seperti Jakarta. Dunia kerja tidak persis seperti dunia pendidikan, dimana seseorang punya banyak waktu luang untuk bergaul dengan santainya. Dunia kerja lebih banyak tentang bagaimana kita lebih realistis memikirkan masa depan kita, memikirkan diri sendiri dan apa yang akan kita raih.

Satu-satunya hal yang mampu aku berikan untuk adikku memulai kehidupan barunya itu tak lain adalah kepercayaan. Karena kadang yang minim diberikan kepada anak muda adalah kepercayaan. Tanpa kepercayaan dari orang terdekatnya, anak muda akan mudah rapuh dan jatuh. Suntikan kombinasi antara motivasi dan kepercayaan akan memberikan energi yang luar biasa bagi seseorang untuk bertumbuh.

Setiap orang pun diciptakan dengan segala kelemahan serta kelebihannya, begitu pula adikku.

Aku percaya, suatu saat dirimu akan jadi orang yang luar biasa, bermanfaat bagi sesama, berguna bagi bangsa. Hidup pasti ada kalanya bertemu dengan kerikil kecil, gunung terjal, jalan berliku, aliran sungai deras, bahkan samudra luas cobaan. Tapi kamu pasti bisa melaluinya dan menjadi dewasa karnanya.

Tetaplah genggam motto hidupmu itu adikku, dan jangan lupa bahwa ada aku, bapak, ibu, adik kecilmu dan Allah Yang Maha Besar yang siap menjadi sandaran kala kau butuhkan. Kamu tidak sendiri. Be strong there.