Saya sampai pada ujung keputusasaan saya.
Saya sudah tidak mampu menyalahkan diri sendiri atas kekecewaan ini. Terlalu banyak saya lemparkan beban pada hati untuk memarahi otak ketika dia mencoba egois dalam menghadapi masalah. Otak pun sebenarnya sudah lelah membela diri saya dihadapan hati dengan segala logika-logikanya.
Otak mencoba menyalahkan orang lain, "Seharusnya mereka bisa sedikit lebih peduli kepada kita seperti kita telah berbaik hati pada mereka! Apa salah kita sampai mereka tega bertindak sangat tidak adil?!"
Hati bilang, "Percuma menyalahkan orang lain karena toh mereka tak berperan dalam menciptakan kekecewaan. Bukannya kekecewaan itu hasil karya mu sendiri wahai otak dan pikiran? Kau begitu sombong menetapkan standar-standar diri sehingga virus kekecewaan itu tumbuh besar dalam diri kita".
Saya lari pada hal lain. Saya mengadu dan marah sama Allah.
Saya dulunya giat berdoa agar Dia memberikan yang terbaik bagi saya, seperti apa yang dikasih tau orang-orang. Hanya saja rupanya entah apa kami berdialog dalam bahasa yang berbeda, sehingga persepsi yang terbaik menurut-Nya kok masih jauh dari yang terbaik versi saya. Padahal, rasanya saya sudah memenuhi syarat dan ketentuan yang Dia berikan deh.
Saya pikir ini harus diluruskan. Karena saya benar-benar sudah tidak bisa menyalahkan hati dan otak atas semua ini.
Akhirnya saya meluruskan semua itu dengan cara penghambaan yang paling kuno. Saya bicara sama Allah "Apalagi Yaa Allah? Apalagi yang harus saya lakukan? Setidaknya berikan sedikit obat untuk orang limbung yang satu ini, yang sangat sadar bahwa hanya Engkaulah Yang Maha Kuasa"
Lantas Dia memberikan saya: Al Quran - Surat Al Waqi'ah, dan diamlah saya. Seperti antalgin, obat itu menawarkan sakit saya, tangis saya dan rengekan saya.
2 comments:
Kekecewaan demi yang terbaik adalah bagian dari perjuangan menemukan your true love.
Keep smile :)
Dimana keliatannya sih kalau ini soal true love? *protes :D
Post a Comment