Pagi benar rombongan telah berangkat. Keperluan perjalanan telah disiapkan semalam sebelumnya hingga larut. Buku-buku yang akan diantar pun tak puas hanya ditempatkan dalam kardus. Didandani pula tumpukan itu dengan plastik bening, label berwarna dan dibungkus bak kado ulang tahun.
'Dandanan kali ini bahkan lebih sempurna daripada buku-buku yang aku antarkan ke pelosok hutan karet di Tulang Bawang Barat' gumamnya dalam hati hanya untuk menepis rasa gugupnya.
Sebenarnya, yang membuat dia lebih gugup adalah amanah untuk memeriahkan acara di tempat yang akan menjadi tujuan. Berilah dia seruangan penuh bapak-bapak atau ibu-ibu kantor, kalau tidak pun panggil ratusan teman sebayanya, maka akan dibuatnya tertawa seisi ruangan. Hanya, keberuntungan membawanya lagi-lagi bertemu dengan anak-anak kecil. Bagi dia, anak-anak itu adalah makhluk yang belum bisa dikenalnya. Sudah begitu, mereka tinggal di pelosok, susah lagi dia menebak bagaimana tingkah laku mereka.
Satu pertanyaan di kepalanya bergelayut mengalahkan jalan terjal berbukit yang dilalui sejak enam jam perjalanan: 'bagaimana caraku membuat mereka tertawa bahagia?'
Sial saja, tak genap dia melamunkan jawaban pertanyaan tunggalnya, mobil sekonyong-konyong merapat di depan sebuah sekolah. Ratusan anak SD berbaris, bertepuk tangan dan bernyanyi menyambut rombongan. Guru-guru pun tak kalah melebarkan senyumannya, senang bukan kepalang kedatangan tamu dari kota yaitu para pengantar buku.
Lebih karena tak sempat berpikir lagi, dia kubur dalam-dalam rasa gugupnya. Lagipula dia merasa dia tidak sendiri. Ditengoknya ke belakang, dia percaya teman-temannya akan membantu menghadapi malaikat-malaikat kecil ini. Riuh tepukan dan nyanyian penyambutan agaknya cukup berhasil membuat haru suasana dan mencairkan teriknya matahari siang itu.
"Tepuk Telkom!"
Prok prok prok
"Kring kring!"
Prok prok prok
"Kring kring"
Prok prok prok
"Hallooooooo....whuussssshhh..
Bukan main senangnya anak-anak itu menirukan tepuk Telkom. Semangat sekali mereka bersama-sama rombongan pengantar buku yang didaulat menguasai panggung 2x2 meter itu. Panggung yang terbuat dari meja kelas digabung menjadi satu dan diberi atap bambu. Kecil tapi kokoh.
Beberapa anak antusias bergabung di panggung, mereka malu-malu tatkala ditanya
'suka baca buku apa?'
Dan satu anak menjawab cepat,
'LKS......!'
Sontak semuanya tertawa. Rupanya tak ada buku yang berkesan buat anak-anak itu selain Lembar Kerja Siswa atau LKS. Tahukah mereka Doraemon? Tahukah mereka Mickey Mouse? Atau apakah ada dari mereka yang suka dengan Gatotkaca?
Siang itu, sembari melambaikan tangan kepada sosok-sosok kecil yang berlalu satu per satu dari pekarangan sekolah, dia memulai lagi roda-roda pikirannya. Rasa gugupnya belum juga mati, kendati begitu dia kini mengerti satu cara untuk membuat anak-anak tertawa bahagia. Jangan berfikir terlalu banyak, berbahagialah dengan mereka secara sederhana, lakukan apa saja bersama mereka. Sebab, anak-anak itu adalah kanvas polos yang masih sanggup menampung segala kebahagiaan.
Buku-buku itu masih berjajar rapi di panggung, walau warga sekolah sudah beranjak. Buku-buku telah diantarkan. Dia menatapnya lama dan berdoa, semoga buku-buku ini mampu melukiskan kebahagiaan lainnya di kanvas polos para malaikat kecil itu. Kebahagiaan melalui cerita-cerita, gambar-gambar dan ilmu-ilmu di dalamnya.
Hari itu, dia tetap saja gugup, menanti perjalanan selanjutnya bertemu malaikat-malaikat kecil lainnya.
---
Tulisan ini adalah cacatan kecil perjalanan pendistribusian buku, Gerakan Setengah Juta Buku untuk Anak Indonesia melalui Bakti Bagi Negeri, Etape 11 Lebak, Banten. Berbagi buku, berbagi inspirasi, salurkan donasimu, klik baktibaginegeri.org