Hari itu, aku dan suami pergi ke dokter kandungan untuk kontrol si dedek dalam perut. Usia kandunganku memasuki minggu ke 40. Namun si dedek masih anteng aja bobok di perutku, belum ada tanda-tanda pengen keluar. Sebelumnya, beberapa kali mules dan kontraksi menghampiri tapi buru-buru juga dia pergi dan tak datang lagi.
Selesai memeriksaku, sang dokter kandungan dengan
dramatis, sembari menyibak tirai ruang periksa dan bergaya bagai seorang putri
keluar dari kamarnya, mengabarkan bahwa si dedek belum juga masuk jalan lahir.
Dokter pun tidak merekomendasikan untuk menunggu lebih lama, karena banyak
resiko menghadang. Diantaranya kemungkinan bahwa air ketuban berkurang
kualitasnya karena bayi mulai mengeluarkan pup, sehingga bisa mengakibatkan
infeksi terhadap janin. Akhirnya aku dan suami diharuskan memilih antara dua
pilihan: mau distimulasi dengan induksi dulu atau langsung operasi sesar.
Sudah dari awal mengandung, aku dan suami menginginkan
si bayi lahir melalui proses persalinan normal. Aku memilih dokter kandungan
yang sudah terbukti mendukung proses kelahiran normal (karena sahabatku juga
menggunakan jasa dokter ini ketika dia melahirkan anaknya dan lahirannya
normal). Aku pun rajin mengikuti senam hamil hampir setiap minggu pada
kehamilan trimester ketigaku. Tiap weekend aku melakukan prenatal yoga dipandu
video koleksi dari YouTube. Aku juga berusaha mengisi hari-hari trimester tiga
dengan lebih banyak berjalan kaki.
Maka dari itu tentu saja kami memilih jalan untuk
menstimulasi kelahiran melalui induksi terlebih dahulu. Walaupun kata
orang-orang induksi itu sakitnya luar biasa, ah tapi tak apa lah. Bukan
melahirkan namanya kalau tidak ada rasa sakit.
Besoknya pagi-pagi kami sudah siap menuju rumah sakit.
Segala perbekalan kami bawa, baik keperluan setelah melahirkan maupun makanan
kecil untuk menemani proses induksi yang akan aku jalani. Membawa makanan kecil
dan minuman kesukaan adalah tips dari teman-teman agar aku tidak kehabisan
tenaga saat melalui proses mules-mules nanti.
Sampai di bagian kebidanan, aku dicek terlebih dahulu
oleh para bidan, yaitu cek detak jantung janin, cek aktivitas janin, cek
kontraksi rahim dan cek bagian dalam alias jalan lahir. Sebelum proses induksi
dilakukan, aku diminta makan terlebih dahulu untuk persediaan stok tenaga (padahal
di rumah juga udah sarapan). Begitu hasilnya sudah ada, bidan kemudian
melaporkannya ke dokter kandunganku sebelum benar-benar dilakukan induksi.
Sesaat kemudian bidan sudah kembali ke ruangan di mana
aku berada dan menyampaikan bahwa dokter menginstruksikan supaya aku langsung
disesar aja. Oh yayaya bidan.
What! Langsung sesar?! *camera zoom in zoom out
*adegan diulang 3x kayak iklan obat panu
Tapi kenapaaa bidaannn? Tolong jelaskan! *sambil
menggoncang2kan tubuh bu bidan *ampun deh mulai drama gini...
Eh tapi beneran aku terkejut mendengar instruksi
dokter itu. Sampai sempat terdiam beberapa saat. Kata bidan, karena kondisi
janin sehat dan aktif tapi kontraksi lemah dan janin tidak juga masuk ke
panggul, maka dokter mengkhawatirkan memang panggul sama kepalanya janin itu
gak pas. Takutnya percuma aja walaupun diinduksi.
Yah, bukannya sok drama sih. Sebagian wanita modern
tertentu mungkin menganggap sesar itu sebagai pilihan utama malah daripada
melahirkan normal. Karena tinggal terlentang keluar lah si bayi. Yah masalah
utamanya karena harapan besar kami, anak kami bisa lahir melalui persalinan
normal.
Sempat bertanya sama dokter yang kemudian juga
menghampiri untuk menjelaskan keadaanku, apakah operasi itu dikarenakan aku
kurang berlatih sujud dan berjalan kaki. Tapi kata dokter bukan karena itu,
operasi diputuskan lebih karena bayi tidak juga masuk jalan lahir. Sebab untuk
kehamilan pertama normalnya adalah bayi sudah masuk panggul minimal di usia
36-37 minggu. Beda dengan anak kedua dan selanjutnya, bayi bisa saja masuk
panggul tepat sebelum melahirkan, karena jalan lahir sudah pernah dipakai saat
melahirkan anak pertama secara normal.
Ah sudahlah, aku dan suami akhirnya memutuskan
mempercayai dokter tersebut. Karena dia lah yang memantau kehamilanku dari awal
dan Insya Allah lebih tahu yang terbaik. Jangan sampai kami memutuskan sendiri
segalanya namun keputusannya terlalu berisiko.
Tepat setelah menyelesaikan makan siangku,
alhamdulillah aku sudah mendapatkan alokasi kamar perawatan. Aku diminta puasa
makan maupun minum selama 7 jam dan operasi akan dilakukan pukul 19.30 malam.
Tujuan diminta puasa adalah agar pada saat dioperasi, jika tidak toleran
terhadap obat bius, pasien tidak muntah dan mengeluarkan kembali makanannya
serta mengganggu proses operasi. Aku sempat protes karena aku menderita
heartburn selama hamil ini, jadi kalau mual justru minimal harus minum air
putih. Tapi kalau diminta puasa, bagaimana nasibku saat mual nanti (hiks hiks).
Waktu menjelang operasi, aku isi dengan beristirahat
dan berdoa. Beberapa kali aku juga melatih kembali kemampuan relaksasi yang aku
pelajari dari senam hamil dan prenatal yoga. Walaupun tidak jadi melahirkan
secara normal, bagiku relaksasi dengan menghirup dan menghela nafas panjang,
membantu membuatku lebih santai dan mengurangi rasa nervous menjelang operasi.
Malangnya, bekal yang kami bawa untuk persiapan persalinan tadi justru menjadi
godaan terberat. Mereka seperti melambaikan tangan, minta dimakan (huweeee).
Tepat pukul 17.00, suster datang dan memintaku
bersiap-siap. Aku mandi terlebih dahulu agar badan segar, rileks dan lebih
bersih dari kuman dan kotoran yang menempel (jiah bahasanya macam iklan sabun).
Aku juga sempat solat maghrib, digabung dengan solat isya. Suster menyampaikan
bahwa aku sudah harus siap di ruang operasi satu jam sebelum operasi, jadi
pukul 18.15 suster sudah menjemput. Suster juga memberikan baju ganti khusus
ruang operasi.
Sayang sekali, suami tidak diperbolehkan menemani
selama operasi. Tadinya kami berfikir suami boleh mendampingi. Ternyata untuk
kondisi mendadak, tidak memungkinkan. Jika ingin mendampingi harus izin
direktur Rumah Sakit terlebih dahulu dari jauh hari. Dengan alasan suami juga
harus disiapkan untuk disterilisasi kalau ingin masuk ruang operasi.
Sedihnyaa…aku harus menghadapi operasi ini sendirian. Aku bilang pada diriku
sendiri untuk tetap tegar. Aku pasti bisa!
Terangnya lampu-lampu koridor mengiringi perjalanan
kami ke ruang operasi. Suamiku hanya diperbolehkan mengantar sampai depan
pintu. Selebihnya hanya suster yang mendorong tempat tidurku masuk beberapa
meter dari pintu masuk. Kemudian aku dipindahkan ke tempat tidur khusus ruang
operasi. Tempat tidurnya datar dan keras. Dinginnya alas tempat tidur terasa
hingga ke kulitku, membuat rasa nervous-ku muncul kembali. Seorang suster
memasangkan selang infus ke tanganku. Menyambungkannya dengan dua buah labu.
Satu labu diantaranya berisi cairan kuning, katanya akan berguna untuk
mengurangi pengaruh obat bius pasca operasi. Duh, ini nih yang membuatku
nervous berada di rumah sakit: harus berhadapan dengan jarum infus, maupun
jarum-jarum lainnya. Susternya sempat bertanya mengenai rasa mual yang aku
derita. Ternyata dia bermaksud menyuntikkan cairan penghalau rasa mual ke dalam
selang infusku. Hmmm di dunia kedokteran ini ada aja yaa obat dari macam-macam
keluhan.
Beberapa saat setelah suster memasang infus, datang
juga seorang petugas medis yang belakangan aku baru ketahui adalah dokter
anestesi. Dia menempelken sebuah sticker transparan di lenganku dan berpesan
agar jangan dilepas. Konon sticker ini adalah salah satu media pereda rasa
sakit, kalau tidak salah hehehe.
Aku masih menunggu sekitar 15 menit lagi sebelum
benar-benar masuk ke pintu berikutnya. Dan 15 menit itu, bagiku yang merasa
sendirian ini terasa sangaattt lama. Hanya sedikit terhibur dengan tenaga medis
berbaju warna warni, hijau, merah, ungu, berlalu lalang sembari ku coba tebak
apa saja profesi mereka ini. Sesekali aku lirik papan berisi tulisan-tulisan
jadwal jaga dan jadwal operasi. Agak ke arah belakang, ada ruangan pemulihan
yang berisi tempat tidur dan peralatan-peralatan lainnya. Tampak jelas pula
sebuah pintu besar di sebelah kiriku yang terbuka dan menampakkan
ruangan-ruangan lain. Sepertinya aku akan dibawa kesitu.
Benar, tak lama kemudian suster pemasang infus datang
dan mendorongku ke ruangan itu. Berdebar kencang jantung ini. Sebentar-bentar
ku elus perut ku dan mensugesti diri dengan bayangan bahagia akan segera
bertemu buah hatiku. Kurasakan tendangan-tendangan pelan di perut. Mungkin
bayiku merasakan hal yang sama.
Setelah masuk pintu besar, perlahan terlihat
pintu-pintu besi menuju ruangan lain. Pintu itu bernomor dan memiliki
lampu-lampu indikator di atasnya. Bunyi bip-bip-bip menggema di ruangan. Plafon
ruangan lebih rendah daripada ruangan sebelumnya dan berrongga. Suhunya pun
lebih dingin. Aku di’parkir’di depan sebuah pintu, kemudian ditinggalkan begitu
saja untuk 30 menit berikutnya. Kembali kulihat beberapa tenaga medis
berseliweran mendorong meja-meja, menyiapkan alat-alat, melipat kain-kain,
memeriksa labu-labu infus dan botol-botol cairan. Ku tengok di sebelah kananku
terdapat deretan wastafel dan tumpukan busa. Aku kembali menunggu, kali ini
ditambah dengan kedinginan yang menusuk tulang. Aku mengisi pikiranku dengan
bayangan mengenai proses yang akan aku jalani, sambil melafazkan beberapa doa
dan berusaha tetap terjaga.
Di ujung lamunanku, suter pemasang infus mendorong
tempat tidurku ke arah lain. Aku sempat mengeluhkan dinginnya ruang operasi.
Sang suster hanya menjawab sekenanya saja. Awalnya aku kira pintu di depanku
lah yang akan aku masuki, ternyata aku memasuki pintu bernomor satu di arah
kanan ruangan. Dokter kandunganku menyambutku. “Selamat datang di teater 1” katanya
mencairkan suasana. Riuh ruang operasi menyambutku. Ada sekitar tiga petugas
medis lainnya ditambah sang dokter anestesi yang berbincang di ruangan itu. Terdapat
rangkaian-rangkaian lampu meja operasi yang membuat ruang operasi itu sekilas
memang ‘mirip’ ruang pertunjukan.
Sekitar pukul 19.45, tahapan operasi dimulai, setelah
beberapa saat tenaga medis sibuk menyiapkan peralatan operasi. Hal yang pertama
dilakukan adalah, penyuntikan obat bius oleh dokter anestesi. Seperti kabar
yang kudengar, bius itu disuntikkan di salah satu ruas tulang belakang sekitar
panggul, dalam posisi duduk membungkuk, untuk melumpuhkan sejenak saraf separuh
tubuh ke bawah. Sebelum disuntik, punggungku diolesi semacam cairan dingin. Ya,
aku dioperasi dalam kondisi sadar. Aku sempat membayangkan bagaimana sakitnya
disuntik di tulang belakang. Kenyataannya, hanya seperti digigit semut,
hahahaha….dan selanjutnya…separuh badan ke bawah seperti kesemutan dan
lama-lama ba-al, mati rasa.
Masih berusaha menikmati apa yang sedang terjadi, sang
suster pemasang infus sekonyong-konyong mengikat kedua tanganku ke papan
panjang. Waduh apa-apaan ini…kata susternya, tangan diikat untuk mengantisipasi
reaksi spontan yang bisa saja terjadi. Ya Tuhannn, pasrah aja lah aku… Sejurus
kemudian, layar hijau vertikal dipasang di atas dadaku, kain-kain dibentangkan
di tubuhku, peralatan logam diletakkan diatas perutku seperti obeng-obeng yang
digeletakkan. Sang suster menyuntik lengan kiriku sekali lagi. Dia setengah
berbisik meminta izin, aku pun setengah sadar mengiyakan saja. Sementara itu
lengan kananku sudah dipasangi alat tensi otomatis yang bunyinya berisik. Di
dadaku pun menyusul ditempelkan alat rekam jantung. Di bagian bawah tubuhku
dimasukkan selang kateter untuk aliran darah nifas dan air kencing. Semua
terjadi sangat cepat.
Dokter kandungan pelan-pelan meraba-raba perutku.
Lama-lama rasanya dia seperti menggoreskan pensil di bagian bawah perut. Geli. Aku
tertawa berkali-kali dibuatnya. Tiga tenaga medis yang lain mendampingi sang
dokter. Mereka mengoperasiku sambil mengobrol, menggosip tentang ini itu,
sedangkan aku mencoba menahan geli di antara sisa-sisa kesadaranku. Hawa dingin
pun sedari tadi masih berusaha menyusupi kain-kain yang menutup tubuh.
Selesai menggores kulitku, dokter memberi aba-aba
untuk memasukkan alat seperti sedotan vacuum cleaner. Terdengar bunyi cairan
ketuban disedot. Dokter berucap “hallo cantiikkk, akhirnya bertemu kita”. Lantas
dokter memberi aba-aba agar tenaga medis mendorong perutku sekuat tenaga ke
arah kaki. Dan aku tertawa terbahak-bahak saking tidak tahan dengan gelinya.
Pukul 19.59…
“Öeeekkkkkkkkkk”
Terdengarlah tangisan lantang anakku….lega tak terkira…alhamdulillaah.
Dokter pun menyelesaikan pekerjaannya. Terasa bau seperti daging terbakar dan
keluar asap, mungkin semacam dijahit pakai laser perutku ini.
Sambil dijahit, salah satu tenaga medis menunjukkan
bayi kecilku. Aku belum sepenuhnya percaya bahwa akhirnya aku dan suamiku
diamanahi bayi kecil ini. "ïbuu, selamat atas kelahiran bayinya. Kita
langsung lakukan inisiasi menyusu dini yaa buu”. Ditempelkanlah bayiku di
dadaku, untuk mendapatkan air susu pertama kalinya. Subhannallaah…
Selesai dijahit, seluruh peralatan yang menempel ke
tubuhku dilepas kecuali infus. Aku didorong ke ruang pemulihan dan disemprot
udara hangat ke bawah selimutku. Pemulihan memerlukan waktu satu setengah jam
sebelum aku diperbolehkan bertemu bayiku. Sayup-sayup kudengar tangisan
kerasnya. Salah seorang kerabat yang menemaniku di ruang pemulihan mengatakan
bahwa bayiku sedang diukur dan diidentifikasi data-datanya di ruang kebidanan.
Operasi sesar sudah aku jalani. Selama dirawat 3 malam
di rumah sakit, aku diminta berlatih tidur posisi miring, duduk, berdiri hingga
berjalan. Harus dilatih agar kulit di sekitar jahitan tidak terlanjur kaku.
Luka jahitan bagian luar akan kering dalam waktu kurang lebih 2 minggu, namun
jahitan dalam kemungkinan membutuhkan waktu sekitar satu sampai dua bulan untuk
pulih, sehingga aku tidak boleh mengangkat barang-barang berat dan tidak diizinkan
beraktifitas berlebihan. Alhamdulillaah 3 hari pertama pemulihan, kondisiku
tergolong normal dan baik. Tekanan darah normal, Hb pun normal. Bayiku juga
normal semuanya, termasuk billirubinnya. Sehingga kami sudah boleh pulang di
hari minggu.
No comments:
Post a Comment