Inilah euforia menonton film. Film yang satu ini membawa
saya flashback ke masa-masa saya duduk di bangku SMA bersama 3 sahabat saya. Mengingatkan
saya pada beberapa kebiasaan kala itu. Mengobrol dengan secarik kertas yang
dioper, sengaja izin ke toilet demi mengintip kelas di mana gebetan berada,
boncengan di atas sepeda motor ketika pertama kali kami bisa mengendarainya dan
tentu saja melewatkan banyak hal bersama. Kami juga mengalami perasaan kehilangan
salah satu di antara kami hanya karena ia asyik bersama pacarnya :D
Disamping menceritakan tentang persahabatan, film ini
menurut saya membawa satu pesan sederhana yang lumayan penting untuk menjadi
pertimbangan dalam menjalin hubungan cinta dan menjalani kehidupan.
Ceritanya, sang tokoh utama, Khun Nam, jatuh cinta pada
seniornya bernama Shone. Seperti biasa, namanya juga film. Shone adalah sosok senior
yang ganteng, pinter main bola dan digemari banyak cewek cantik. Sementara Nam
adalah cewek yang berkulit gelap, berkaca mata, pake kawat gigi, tidak terlalu
pintar dan tentu saja tidak banyak murid yang mengenalnya. Bagi Nam, bisa
bertemu dan bicara dengan Shone walau hanya sebentar ituuu udah sesuatu banget
deh.
Sahabatnya tahu bahwa Nam menyukai Shone. Mulailah mereka
membantu Nam untuk mendapatkan perhatian Shone dan Nam pun bersemangat untuk
melakukan apa saja yang disarankan sahabatnya. Mereka mulai dengan membeli buku
‘9 metode mendapatkan gebetan’ dan menerapkan metode-metode tersebut. Gokil
banget pas mereka mendandani Nam dengan masker dan melumurinya dengan lulur
hingga kulitnya kuning. Sampai akhirnya Shone malah mengira Nam lagi sakit
hepatitis A *hadeh.
Nam juga berusaha belajar lebih giat untuk menjadi juara di
kelasnya. Ia dan sahabatnya mengikuti klub drama untuk menarik perhatian Shone.
Nam juga belajar menjadi mayoret yang baik, saat ia kebetulan diminta
menggantikan temannya yang cedera. Nam lambat laun mulai ‘sadar penampilan’
sehingga dia sukses menjadi idola di sekolah –pokoknya singkat kata Nam yang
tadinya jelek terus jadi cantik aja.
Tiga tahun Nam diam-diam menyukai Shone dan melakukan
berbagai cara untuk merebut perhatiannya. Sebetulnya usahanya tidak sia-sia, karena
Shone ternyata juga menyukai Nam. Hanya saja waktu dan kondisi belum mendukung
mereka untuk bersama. Hingga akhirnya mereka harus berpisah untuk mengejar
impian masing-masing.
Alkisah, 9 tahun kemudian Nam berhasil menjadi fashion designer
sukses setelah belajar di USA, sementara Shone berhasil menjadi fotografer pro
yang selama ini dia impikan. Lalu mereka bertemu kembali, dan saat itulah
cerita mereka happy ending.
Di akhir cerita film tersebut Nam berkata bahwa salah satu
hal yang membuat ia sukses adalah karena dia pernah mencintai seseorang. Nam
berkomentar tentang cowok yang dicintainya: “He is like my inspiration, he made
me use the love in good way, he is like the power that supports me to be better
and better...”
NAH! Ini lah apa yang saya bilang sebagai hal sederhana tapi
perlu dicatat. Di tengah euforia menonton film ini saya berfikir bahwa memang
sebaiknya rasa cinta kita terhadap seseorang itu dapat membawa kita menjadi
diri kita ke arah yang lebih baik, bukan malah ke arah destruktif.
Mungkin ada
yang bakal komplain “wah, kalau gitu kita hanya bisa lebih baik kalo ada dia
dong”. Iya, memang ‘dia’ adalah motivasi kita. Tapi tetap saja, kemauan untuk
jadi lebih baik itu datangnya dari diri kita sendiri, cinta itu hanyalah
pemantiknya. Toh sebenarnya, tidak banyak respon juga yang diberikan oleh Shone
pada Nam. Tapi bagi Nam, bahkan hanya dengan melihat senyum Shone, Nam
menemukan semangat yang luar biasa yang mampu mendorong dia ke arah yang lebih
baik lagi.
Look, love might be a crazy thing, but the power to be
better still come from your own mind, body and soul! So.... *simpulkan sendiri
:P
2 comments:
berkunjunggg .... :)
I like this film too ^_^
Pas ntn film ini ampe senyum2 sendiri, deg2an sdri serasa abg bnr daaaah... ;)
Post a Comment