Hai haii... Pandemi masih disini bersama kita. Belum ada tanda-tanda akan berlalu. Kondisi Tahun ini malah lebih parah dibanding Tahun lalu. Berbagai rencana terpaksa ditunda, termasuk pulang kampung. Entah bagaimana kampung halaman setelah 1,5 tahun lebih tak berkunjung. Rindu orang tua pun lambat laun berubah menjadi batu saking menumpuk lama. Belum lagi setiap detik saat ini seolah begitu berharga karena nyawa bisa saja dipanggil Yang Kuasa kapan saja.
(Catatan: Tulisan ini ditulis sekitar Bulan Agustus 2021)
Well, banyak hal berubah karena Pandemi. Orang-orang di luar sana kehilangan pekerjaan, beralih profesi untuk beradaptasi. Anak-anak dikabarkan banyak yang yatim piatu karena pagebluk ini. Sebagian mencoba mempertahankan hidup dengan mematuhi protokol kesehatan. Hal yang dulu tak terbayangkan ada. Kami, pegawai BUMN pun sama, working from home (WFH) sekarang sudah jamak terdengar. Bergelut dengan pekerjaan sambil mengurus rumah tangga setidaknya hal yang patut disyukuri, sebab setidaknya kami masih digaji.
Bicara mengenai perubahan saat Pandemi, ada satu hal yang tidak berubah bagi saya. Cicilan rumah!
Kalau sinetron, dua kata barusan muncul mungkin diriingi dengan audio yang lebay serta zoom in-zoom out kamera, hahahaha. Lho bukannya saat Pandemi, bank memberikan keringanan untuk para cicilers KPR? Oh tidak semudah itu ferguso... Sempat menghubungi bank terkait hal tersebut. Jawabannya, tentu saja kita harus melampirkan surat pernyataan terdampak Pandemi dalam form permohonan.
Daripada kualat karena mengaku-ngaku terdampak, saya undur diri, sekian dan terima kasih. Intinya masih tetap mencicil sesuai nilai sebelum pandemi. Gak papa deh, itung-itung biar nggak kelamaan nyicilnya juga.
Beli Rumah, Sebuah Kenekadan yang Hakiki
Flashback ke masa-masa 5-6 Tahun yang lalu. Ketika itu saya dan pasangan belum genap 2 Tahun menikah. Alhamdulillah telah dikaruniai seorang bayi lucu. Apa sih yang selanjutnya diinginkan pasangan baru? Ya, salah satunya pasti lah mimpi memiliki rumah untuk tinggal bersama. Mengingat di awal pernikahan, status kami masih sebagai kontraktor, mengontrak rumah maksudnya hehehe.
Bagi saya, mimpi ini agak muluk-muluk sebenarnya. Karena modal sudah habis buat nikah, uang kontrakan, beli motor dan tentu saja biaya bayi. Meski muluk-muluk, saya dan suami tetap nekad survey-survey rumah. Yaa apa salahnya sih survey dulu, wong cuman perlu uang bensin ini, belum tentu langsung beli rumah ya kan.
Lihat sini, lihat sana, tanya sini, tanya saya. Browsing berbagai situs ecommerce khusus property. Ngumpulin brosur perumahan sudah kayak hobi. Melototin desain rumah dan gambar arsitek-arsitek sambil berdiskusi hangat...bahkan panass...biasa lah suami istri ada aja perbedaan keinginannya. Pokoknya lagaknya udah kayak punya duit aja buat DP rumah. Udah gitu suami saya punya rumah impian pengennya di sudut kompleks, biar luas katanya. Saya yang sibuk mikir, duit darimana, biasa lah otak cewek ga jauh dari perduitan.
Hari itu, mata tiba-tiba tertuju pada sebuah penawaran di situs jual beli property. Berbeda dengan penawaran lain yang penuh kata-kata berbunga dan berduri namun meragukan, saking biar pembeli tertarik. Penawaran ini terlihat apa adanya, to the point pada list harga juga. Penasaran, saya dan suami pun cuss ke lokasi, menemui marketingnya.
Menarik sihh, apalagi bagian bisa mendesain sendiri rumahnya, terus pajak jual beli ditanggung penjual. Harga unitnya relatif murah dikomparasikan dengan yang lain, karena bukan kompleks perumahan maupun kluster. Hanya di pemukiman biasa. Tapi teteupp, karena belum kebayang duitnya, balik kanan grak! Pulang!
Sampai pada suatu hari, dua atau tiga bulan berikutnya. Entah karena angin apa, suami mengajak untuk cek lagi kompleks tersebut. Cuss! Begitu sampai di sana, rupanya unitnya semakin banyak yang dibangun, area pembangunan juga tambah luas. Mungkin pengembangnya sudah membeli lahan-lahan disekitarnya yang tadinya merupakan area persawahan. Yes, memang unitnya tidak ready stock pemirsa.
Iseng-iseng suami saya nanya, ada yang hook/ sudut kah unitnya. Iseng nanya karena pas lihat sekeliling kok kayaknya ga ada, trus ngga ada juga di list di web jual-belinya juga. Dannn ternyata.... Adaaa. Marketingnya langsung mengantarkan ke sebuah area. Eh waktu itu kita kebetulan langsung bertemu dengan pimpinan pengembangnya sih, yang ganteng kayak model hehehe. Ditunjukkanlah oleh pengembang tersebut area sawah, plus dikasih lihat denah. Area unit hook ini luasnya 123 m2 dan menghadap ke utara.
Suami langsung tertarik dan menanyakan cara membookingnya. Buseeeetttt memboookingggg??? Pede banget emang suami. Kata pengembang, kita hanya butuh 5 juta untuk booking dan diharapkan dalam seminggu sudah setor. Udah gitu DPnya 20% aja dong. Jujur saya sampai nanya ke developer:
Saya: "Pak, DP sebesar itu gimana ya cara dapetinnya?"
Developer: (mungkin sambil ngebatin, lah kok malah nanya balik) "Ya bisa pinjam-pinjam dulu bu ke Saudara, nanti kalau sudah ada pinjaman bank tinggal dilunasi"
Saya: (Pak kok bapak gampang banget sih bilang gitu T____T)
Jadi ya pemirsa, beli rumah dengan KPR itu kan ada dua unsur, DP dan Cicilan KPR. Dua-duanya saya dan suami belum siap semua. Kalau Anda dan pasangan dua-duanya pegawai misalnya, minimal bisa berbagi, siapa yang nyicil DP dan siapa yang nyicil KPR. Lha ini kondisinya, suami saya masih pekerja honorer, kebayangnya baik DP maupun KPR adalah saya yang harus mengupayakan.
Oke, suami pulang dengan bersemangat, karena ada peluang punya rumah hook/ sudut. Saya pulang dengan lesu karena mikirin sumber dananya.
Iya, Sebuah Kenekadan yang Hakiki
Hampir dua minggu berlalu, kita belum booking rumah tersebut. Ngga ada uang untuk booking emang. Sad. Pengembangnya sudah menanyakan pula, jadi ngga ambil unit tersebut. Karena ngga pede, kita jawab sepertinya engga dulu deh pak, masih belum ada dananya untuk booking nih. Udah lah, mungkin belum rejekinya.
Ceritanya udah pasrah dan ikhlas....
Namun Tuhan lah yang Maha Memiliki Skenario. Satu-dua hari kemudian, tiba-tiba suami diberikan rejeki yang tak disangka-sangka. Rapelan honor pengajar dari pemerintah yang telah lama diusahakan, ternyata cair hari itu. Jumlahnya lebih dari cukup untuk biaya booking rumah.
Spontan kami menghubungi kembali si mas-mas marketing untuk mengkonfirmasi ketersediaan unitnya. Ajaibnya si mas-mas bilang gini: "Lho masih bu, kan emang kita keep buat ibu dan bapak". Batin saya: ("Bukannya udah kita cancel ya").
Akhir pekan akhirnya kita bertemu bapak-bapak model...eh...kepala pengembang dan membayarkan biaya booking secara TUNAI dan SAH! Yep, udah macem nikah aja dibayar tunai. Suami memang orangnya tidak gemar mentransfer uang, dia lebih suka ambil cash dan menyerahkannya langsung di muka bapak pengembang. Duh maaf maksudnya di depannya bapak pengembang ya, bukan dilempar ke mukanya.
Ya Allah, ngga nyangka kita bakal punya rumah. Ketawa ketiwi kita sambil pulang, meskipun nyampai rumah pucat juga wajah ini mikirin DP nya yang harus udah diserahkan menjelang akhir tahun.
Lagi-lagi, Terima Kasih wahai Kantorku!
Kami, akhirnya menuruti saran bapak pengembang yang ganteng, yakni meminta bantuan kawan dan handai taulan untuk menalangi DPnya terlebih dahulu. Aku, waktu itu, mencoba membuat list teman dan saudara yang diperkirakan bersedia membantu, tentu dengan kategori mampu secara finansial dan dapat menjaga rahasia bahwa kami meminjam sejumlah dana. Aku hubungi satu per satu. Mereka pun setuju.
Maka dari itu, tulisanku ini aku dedikasikan khusus untuk berterima kasih juga kepada mereka yang bersedia membantu. Aku tidak bisa berterus terang menyebutkan disini satu per satu. Namun kalian tahu diri kalian. Hanya Allah yang dapat membalas kebaikan kalian dengan kebaikan yang lebih baiikk lagi karena telah membantu membangunkan rumah buat keluarga kami.
Belakangan, aku baru tahu, sebagian dari mereka sepertinya bersedia membantuku dengan amat sangat ikhlas, karena bahkan ketika aku membayar pinjamanku, mereka lupa bahwa mereka telah membantuku dengan sejumlah dana tersebut. Meski demikian, kawan dan saudara yang lain bersedia membantu karena aku menjanjikan akan segera mengembalikannya saat aku sudah menerima Biaya Bantuan Perumahan serta Jasa Produksi dari perusahaan.
Iya, Tuhan memberikan rezeki kembali melalui tempat kerjaku, dan sesuai kebutuhanku baik dari sisi jumlah dan waktu. Aku akan menerimanya pada pertengahan tahun berikutnya. Sehingga tidak akan terlalu lama bagiku meminjam dana dari teman dan saudara. Aku pun mem-pas-kan besaran pinjamanku dengan jumlah yang akan aku terima, sehingga tidak melebihi kemampuanku. DP-pun dapat disetor tepat sesuai target.
KPR di Bank Syariah Mandiri (BSM)
Setelah DP disetor, pengembang mulai membangun rumah kami. Diperkirakan akan selesai dalam 3 (tiga) bulan. Pada awal tahun berikutnya kami sudah harus siap menandatangani akan KPR dengan bank yang kami pilih.
Pada awal percakapan kami dengan pengembang, ia mengatakan bahwa terdapat dua bank yang telah bekerjasama dalam pembiayaan rumah-rumah kliennya yakni BNI dan BSM. Dua bank tersebut percaya kepada si bapak pengembang karena track record si bapak yang bersih. Tidak banyak bank yang bersedia membiayai pembangunan rumah indent (tidak ready stock) kala itu.
Kami memilih BSM dengan tenor 15 tahun. Selain karena menggunakan hukum syariah, BSM juga menawarkan cicilan dengan sistem margin bagi hasil yang progressif disesuaikan dengan penghasilan yang kami sampaikan. Saat itu, kami bisa mencicil 4-5jt per bulan di 5 tahun pertama tenor kami.
Kemudahan lain diberikan pula oleh Yang Maha Kuasa. Pada awal tahun sebelum kami menandatangani Akad KPR tersebut, perusahaanku melakukan restrukturisasi remunerasi yang berdampak besaran gaji bulananku menjadi dua kali lipat gaji awal yang kami laporkan ke BSM. Puji syukur, kami bisa mencicil KPR berdasarkan gaji lama dan kami masih punya sisa gaji untuk rumah tangga sehari-hari.
Pada Bulan Mei, kami bisa menempati rumah baru kami. Inget banget, dua minggu sebelum Bulan Ramadan. Pas sekali setelah kontrakan kami selesai tepat 2 Tahun.
KPR yang (Insya Allah) Lunas maksimal 10 Tahun
Dipikir-pikir, waktu itu gak akan ada habisnya mikir bayar cicilan 5jutaan setiap bulan dalam 15 Tahun. Gak kebayang sama sekali. Akan tetapi saat aku membagi pengalamanku ini, sudah 5 tahun kami memiliki KPR rumah pertama.
Setelah 5 tahun pertama kami lalui dengan KPR, kami dimampukan melunasi sebagian dan mengalihkan pinjaman ke koperasi. Kami melunasi sebagian dengan Bantuan Biaya Perumahan yang aku terima setiap 5 tahun, sehingga pinjaman ke koperasi hanya perlu tenor 5 tahun. Insya Allah KPR akan lunas tidak sampai 15 tahun. Tambahan lagi karena pelunasan ke bank telah dilakukan, alhasil kami pun dapat mengambil Sertifikat Tanah dan Bangunannya di BPN. Bahagia sekali akhirnya bisa memegang fisik sertifikat rumah kami.
Sebagian besar cerita yang aku tulis, memang mencerminkan rasa syukur karena ternyata perjuanganku dan suami, kami rasakan banyak kemudahan yang dicurahkan Tuhan. Seolah dibukakan jalan dan ditunjukkan arahnya sesuai kemampuan kami. Kendati begitu, bukan berarti selama menjalaninya tidak ada kerikil maupun rambu yang menghadang. 5 tahun pertama mencicil KPR pun kita lalui dengan penuh penghematan. Mungkin kalau pengen liburan ibaratnya...kami memilih pergi ke taman kota yang gratis. Atau kalau pengen ganti HP, mikir berulang kali.
Nyatanya kerikil dan rambu itu bisa kita lalui dan mengantar kami memiliki rumah. Sebuah aset yang kalau di Indonesia laik untuk diperjuangkan. Yah setidaknya menurut kami.
Bagaimana dengan perjalanan dan kisah kalian?





