Buku-buku untuk TBB (Ida Arsiyanti) |
Korespondensi tersebut bermula dari inisiatif Ardi Wilda (Awe), Pengajar Muda
penempatan Kabupaten Tulang Bawang Barat. Sebelum lebaran,
ia bersemangat sekali mempromosikan di Twitter bahwa murid-muridnya akan
mengirim kartu pos kepada siapa pun yang bersedia menerima. Saya, yang memang hobi berkorespondensi, langsung mendaftar.
Sehabis cuti Lebaran, kartu pos Fai saya terima, lantas saya
buatkan balasan dalam bentuk surat dua halaman dan saya hiasi dengan foto-foto
Museum Geologi dari Kota Bandung dan foto Gedung Telkom tempat saya bekerja.
Tak lupa saya tempel gambar Relawan Bakti Bagi Negeri etape Tulang Bawang Barat
di surat itu.
Ya, 28 Juli 2012, lebih dari satu tahun yang lalu, Relawan
Bakti Bagi Negeri 'mendorong sekoci' berisi 3.500 buku-buku ke sana. Sekolah Fai
adalah salah satu yang mendapatkan 500 eksemplar buku-buku dari para donatur
Bakti Bagi Negeri. Saat itu pula lah saya dan Relawan lainnya bertemu para
Pengajar Muda. Tak disangka juga, salah satu Pengajar Muda itu adalah adik
kelas saya di bangku kuliah. Dia lah Ardi Wilda yang saya ceritakan di atas.
Kegiatan Bakti Bagi Negeri etape Tulang Bawang Barat pun menjadi reuni kecil bagi
kami.
Para Pengajar Muda TBB (Ida Arsiyanti) |
Kunjungan kami ke Tulang Bawang Barat singkat sekali. Kami
disambut oleh para pengajar muda di tengah terik siang hari Bulan Ramadhan.
Kemudian seremonial penyerahan buku dan acara kebersamaan digelar sore hari
hingga menjelang buka puasa. Setelah itu kami kembali pulang pada malam
harinya.
Meski singkat, rupanya para relawan mendapatkan inspirasi
dan semangat yang luar biasa dari sana. Masih membekas dalam ingatan,
wajah-wajah gembira anak-anak berebut menjawab pertanyaan dari kami, demi
mendapat sebungkus coklat. Menggelitik sekali, ketika salah satu relawan
dipilih oleh murid-murid sebagai relawan terkeren hanya karena kulitnya putih. Mereka
memiliki mindset orang berkulit putih itu cantik atau ganteng.
Paling berkesan adalah saat kita berbincang dengan pengajar
muda, bagaimana cerita mereka hingga mereka merasa terpanggil bahkan rela
keluar dari pekerjaan mapannya hanya untuk mengajar di daerah pelosok. Melihat
mereka menjadi guru dengan ‘taktik’ yang seolah tak pernah habis untuk mengatur
murid-murid mereka, saya hanya bisa berkomentar
“WOW!”. Satu lagi yang menarik,
asli! Mereka tidak pernah mengeluh. Jangankan mengeluh, memiliki persepsi
negatif pun sangat jarang.
Mungkin saya adalah orang yang ke seratus juta yang
menyatakan kekaguman saya terhadap kontribusi para pengajar muda. Tapi memang
nyata adanya bahwa negri ini butuh kaum-kaum idealis seperti mereka untuk
membantu mensejahterakan penduduk pelosok yang belum terjamah pendidikan
berkualitas. Jujur, motivasi saya pergi ke Tulang Bawang Barat yang utama
adalah melihat dari dekat pengabdian mereka. Karena saya sendiri, walau memiliki
keinginan untuk bisa seperti mereka, namun tetap saja terkendala oleh ciutnya
niat saya meninggalkan kenyamanan bekerja di sebuah korporasi besar seperti
Telkom.
Sore itu, di dekat sumur, sewaktu mengambil wudlu untuk
solat Asar, sebuah ajakan terlontar dari Annisa, pengajar muda yang setia
berkoordinasi dengan saya dalam menyiapkan acara. “Mba, mba masih 26 tahun dan
belum menikah, coba saja bergabung, tidak tertutup kemungkinan untuk diterima
kok”.
Tentu saja, saya hanya bisa tertegun, karena jauh dalam hati
saya, saya tahu bahwa saya belum seberani mereka. Tapi saya berharap,
keberanian saya menempuh perjalanan yang cukup singkat persiapannya ini hanya demi mendapatkan inspirasi dari
mereka, suatu saat nanti bisa membuahkan keberanian lain di diri saya yang tak kalah besar dari mereka.
An eternal inspiration worth to be found. Thank you guys :)
(catatan perjalanan mengantar 3.500 buku-buku ke pelosok
Tulang Bawang Barat, mulai ditulis setahun yang lalu dan baru diselesaikan saat
ini, better late than never)