Eh, ekstrim sekali ya pernyataan saya. Pernyataan saya yang sangat keren itu terinspirasi dari judul buku pakar marketing Jack Trout dan Al Ries “Differentiate or Die”. Terus, mengapa harus berbeda?
Begini ceritanya...
Beberapa waktu yang lalu, teman kuliah saya dengan terburu-buru mengumumkan di forum Blackberry Messenger kami bahwa sedang ada obral besar-besaran di sebuah pusat perbelanjaan di Bandung. Obral itu memberondong para pengunjung dengan bertumpuk baju-baju bermerk! GAP, Calvin Klein, Guess dan sebagainya; dari mulai kemeja hingga celana jeans dengan harga turun lima kali lipat dari harga asli. Teman saya menambahkan bahwa para pengunjung ramai mengerumuni tumpukan itu untuk mendapatkan baju bermerk favorit mereka dengan harga murah.
Sebagian orang men’dewa’kan merk atau dalam bahasa marketing sering banget disebut brand. Coba deh jawab pertanyaan saya, mana yang kamu pilih antara dua buah kemeja sama persis dari bahan, ukuran, harga dan kualitasnya, akan tetapi di salah satu kemeja tertera merk Guess?
Ada contoh lain, mana yang kamu pilih, dua orang cowo yang sama-sama ganteng, tinggi, pinter, kaya, rajin menabung, sementara yang satunya dikenal dengan nama Afgan Syahreza??
Saya tuh pengen membahas, kalau merk atau brand itu saat ini ngga hanya berlaku buat barang jualan macam baju, mobil, jam tangan, tas, atau bahkan hand body lotion dan pasta gigi. Sekarang orang pun identik dengan merk!
Bingung ngga? Biar tambah bingung saya mau cerita lagi...
Dalam marketing, daya tarik merk atau brand membawa pengaruh yang besar. Para pengusaha, pebisnis, pedagang dan pemasar banyak yang sadar betul bahwa membangun dan memperkenalkan brand adalah kunci pertumbuhan dan sumber keuntungan. Bahkan, brand memiliki kekuatan untuk menentukan harga yang akan dibayar oleh konsumen dan harga saham yang akan dibeli oleh investor.
Memilih nama brand untuk sebuah produk penting dari sisi promosi, karena nama brand mencerminkan isi dan kegunaan produk tersebut. Brand juga membantu pemasar untuk menentukan posisi produk tersebut di mata pelanggan. Sebab pada saat yang sama, nama brand menciptakan kesan yang ada di balik produk.
Sekarang apa yang ada dalam pikiranmu ketika saya sebutkan nama Afgan Syahreza? Atau Ariel Peter Pan? Atau Justin Bieber? Mungkin kalau saya tanyakan juga pertanyaan itu pada orang yang baru saya kenal di supermarket, ia akan memberi jawaban yang tidak jauh berbeda dengan kamu. Lain halnya kalau saya sebutkan nama Hanna ke mereka, kayaknya mereka bakal bilang “oh itu nama kucing saya”. Serius habis itu saya langsung ngeloyor pergi deh.
Nama kita itu sebenarnya merk atau brand diri kita. Melalu nama lah kita diidentifikasi. Hal utama yang dapat membedakan kita dengan orang lain pun adalah nama kita. Akan tetapi bagaimana bila ternyata di suatu kondisi bukan kita satu-satunya pemilik nama yang kita sandang? Di titik ini lah kita perlu untuk menjadi berbeda.
Sebetulnya meski satu nama dapat dimiliki oleh lebih dari satu orang, secara fisik tentu masing-masing orang tetap saja berbeda. Namun berbeda secara fisik saja tidak cukup. Cara lain untuk menjadi berbeda adalah mengembangkan kepribadian dan identitas yang unik. Mulai dari penampilan fisik, cara berbicara, cara jalan, cara melirik (haishh), cara makan, respon kita terhadap suatu hal, hingga cara berfikir dan menyelesaikan masalah. Pemilihan selera lagu, pemilihan jenis kendaraan, pemilihan sekolah, tempat kerja dan lain sebagainya.
Mengapa kita perlu untuk menjadi unik? Karena hidup terlalu singkat untuk menjadi biasa saja atau sama dengan kebanyakan orang.
Langkah selanjutnya, setelah menjadi unik, menurut saya kita itu perlu dikenal. Karena sayang sekali kita sudah unik tapi diem aja nyempil di bagian mana di dunia ini, sia-sia sudah keunikan kita.
Mengapa kita perlu untuk dikenal? Karena hidup terlalu singkat hanya untuk menjadi orang biasa dan tidak terkenal. Yess! Kalau perlu seterkenal Afgan, Justin Bieber atau Michael Jackson *sambil benerin kerah baju. Eh Rosulullah saja orangnya terkenal lho, dan menurut Buku Pintar yang saya baca jaman SD, beliau adalah orang paling berpengaruh di dunia. Lha terus masa kita tidak meneladani beliau.
Kalau dalam sudut pandang brand ada ungkapan seperti ini, kuat atau tidaknya karakter brand itu ditentukan saat calon pembeli berada di depan etalase dan memilih barang. Dari berbagai pasta gigi yang berderet misalnya, pasta gigi mana yang akhirnya ia beli adalah yang mampu memenangkan hati pembeli tersebut *ciyeehhhh memenangkan hati boww....
Sampai disini paham kan sodara-sodara?
1 comment:
sampun dipun waos mbak hanna, sampun mudeng ugi.
dalem tengga episode lanjutanipun.
Post a Comment