Bulan Agustus 2014. Tanpa terasa sudah setengah tahun sejak postingan terakhir di blog ini. Tentu banyak hal terjadi, banyak pengalaman terlampaui, pun banyak cerita yang semestinya bisa dibagi. Namun apa daya ketika keinginan menulis yang memuncak tiba-tiba sirna di depan layar komputer tergantikan dengan setumpuk pekerjaan dan satu dua janji yang harus dilunasi.
Alkisah selama 6 Bulan, secara signifikan hidup saya berubah. Perubahan ini bahkan tidak pernah terpikirkan sama sekali di awal tahun, saat saya dengan sedikit enggan memasang kalender 2014. Enggan karena pertanyaan: "mau ngapain saya di tahun 2014 ini?".
Seonggok rencana saya pilah-pilah di kepala saya. Demi membangkitkan kembali gairah saya dan mengusir keengganan, saya memikirkan rencana saya menghabiskan tabungan di 2014, antara mau berlibur ke luar negeri, ke dalam negeri, atau umroh saja. Lumayan, setidaknya pikiran itu bisa sedikit mengobati kegundahan saya akan pertanyaan saya yang sebenarnya di tahun 2014: akankah saya tetap mengarungi tahun ini sendirian saja? (#eaaa #pertanyaan sebelumnya hanya pengecoh)
Ternyata untuk tahun ini, Tuhan menjawab pertanyaan tersebut dengan jawaban yang berbeda. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang jawabannya hanya seputar begini:
2008 - maen-maen aja dulu laah,
2009 - belum waktunya,
2010 - sabar yaa,
2011 - bukan dia,
2012 - tetap berusaha yaa,
2013 - ditambah lagi sabarnya,
Yah, saya bersyukur, setidaknya jawaban Tuhan bukan: ZONK!!! hahahaha...
Hari itu, tanggal 19 Januari. Saya benar-benar tidak menyangka akan dipertemukan dengan orang yang telah disiapkan Tuhan untuk saya. Sama seperti sebelumnya, saya hanya membuka halaman saya selanjutnya dengan judul yang sama: "Tetap Semangat Berusaha", tapi yang ini udah bagian ke 108, dududududu. Usaha yang sama tapi beda target (saya kasih sebutan 'target' biar ada yang senyam-senyum puas membaca tulisan ini).
Target kali ini datangnya dari hutan.
HUTAN?
Iya, memang cukup unik, karena targetnya adalah seorang perambah rimba dan pendaki gunung. Dia adalah trainer saya dan teman-teman waktu kita mengadakan pelatihan Basic Survival sekitar satu setengah bulan sebelumnya. Pertemuan hari itu bertujuan untuk menyampaikan ucapan terima kasih kepada organisasinya yang telah bersedia membantu kami mengadakan pelatihan.
Teeettt salah! Koreksi!
Pertemuan hari itu bertujuan untuk mendapatkan jawaban apakah pelatih yang menjadi target saya, masih bujang atau tidak, dengan berkedok menyampaikan ucapan terima kasih kepada organisasinya yang telah bersedia membantu kami mengadakan pelatihan.
Saya tidak sendiri. Ada Widya, sahabat saya, sekaligus penasehat spiritual. Ada Bang Razas, selaku juru bicara kenegaraan dan perwakilan perkumpulan makcomblang. Ada juga anak Bang Razas, selaku pengalih perhatian dikala diperlukan. Satu lagi, ada ian sebagai pengalih perhatian kedua, disebabkan oleh ketertarikan dia yang sangat terhadap organisasinya sang target, jadi setidaknya bisa mengeluarkan pertanyaan yang agak-agak penting.
Setengah jam pertama habis dengan pembicaraan basa-basi, yang basinya sampai tercium radius 1 km dari TKP. Hampir seluruh setengah jam kedua, habis juga dengan pembicaraan basa-basi.
Lohh, kapan pembicaraan yang tidak basa-basinya? Yaa kira-kira 10 menit sebelum pertemuan selesai. hehehe...
Saya dengan suksesnya kehabisan kata-kata sehingga lebih memilih diam. Takutnya kalau bicara yang keluar malah isi satu buku Kahlil Gibran yang isinya tentang cinta. (astagaa, gombal banget yaa saya) hehehe...Namanya juga sedang bertemu 'target'.
10 menit yang saya bicarakan tadi, seperti ini ilustrasinya:
- 5 menit -
(semua peserta pertemuan terdiam, sudah tidak punya bahan pembicaraan)
----
- setelah itu -
Bang Razas : Kang Topan sudah berkeluarga?
(jeda selama satu menit, sebelum target menjawab)
Kang Topan: belum
Bang Razas : oooooo (lalu menunduk, kembali serius memandangi layar ponsel)
----
4 menit selanjutnya terjadi percakapan dalam hati masing-masing
Saya : buset dah, bang razas tanpa angin tanpa hujan....eh tapi seneng juga ternyata si doi masih belum nikah
Widya : loh kok habis nanya, bang razas diem aja, keadaan jadi kikuk gini
Ian : duh boleh gak yaa sama si bos aku daftar organisasi ini (memang ni anak yang paling beda pikirannya)
---
Sejurus kemudian widya menyelamatkan suasana,
Widya : eh anak abang ini berapa umurnya? (sambil mengelus kepala anaknya bang razas)
Ya, begitulah, reka ulang kejadian hari itu. Ceritanya, teman-teman saya lah yang menjodoh-jodohkan kami, sampai dibela-belain menyusun pertemuan sebagai kedok langkah awal PDKT.
Rupanya tangan saya tidak bertepuk sebelah. Menurut konfirmasi saya sendiri kepada sang target setelah pertemuan itu, sesungguhnya dia sudah tertarik dengan saya waktu menangkap saya pas terjatuh di sebuah parit ketika kita keluar dari hutan. (benar sekali, seperti adegan dalam sinetron atau film-film korea) Adegan tersebut terjadi pada tanggal 8 Desember tahun sebelumnya. Setelah itu, sama sekali kami tidak bertemu lagi. Hanya kuasa Tuhan-lah yang mempertemukan kami kembali, satu setengah bulan kemudian, dengan benih-benih ketertarikan yang masih tersimpan rapi di hati.
Tak perlu waktu lama, 10 hari berikutnya kami menyepakati melanjutkan benih-benih itu, memperjuangkannya hingga level pernikahan, dengan keyakinan meski Tuhan yang menentukan, tetap kita yang mengusahakan. Bismillah.
Rupanya Tuhan telah menuliskan kisah kita, dilancarkan-Nya hingga pelaminan. Keluarga pun menyambut gembira dan merestui, pernikahan direncanakan tanpa hambatan berarti, rejeki juga mengalir kendati kami hanya punya waktu singkat untuk menyiapkan semuanya. 17 Mei kami sah menjadi sepasang suami istri.
Hingga sekarang, saya masih diliputi rasa tidak percaya. Inilah bukti, bahwa Tuhan Maha Kuasa, Maha Pembolak-balik Hati, Maha Memberi, Maha Pengasih dan Penyayang.
Sampai akhirnya saya mengalami sendiri bagaimana cara saya dipertemukan dengan suami saya, saya pun sama galaunya, sama tidak percayanya dengan nasehat-nasehat semacam ini :
- kita yang merencanakan, Tuhan yang menentukan
- agar diberi jodoh yang terbaik, kita juga harus memperbaiki diri kita sesuai dengan jodoh yang kita harapkan (iya sih, lebih sering kita menuntut orang yang baik tapi kita sendiri sebenarnya belum baik)
- semua akan indah pada waktunya, tidak tahu bagaimana (habisnya kata-kata ini begitu absurd)
- jangan berharap selain kepada Tuhan (karena saya seringkali menggantungkan harapan pada orang)
Setelah 3 bulan saya menapaki tangga-tangga awal rumah tangga dengan sang target, sejauh ini memang dialah manusia terbaik yang disiapkan untuk menjadi pendamping saya. Karena hampir tiap hari saya selalu berucap "Ya ampun, kok Tuhan tahu sih kalau saya pengen suami yang seperti ini". Dan mudah-mudahan saya selalu bisa bilang begitu sampai nantiiiii kita bertemu lagi di surga.
Satu hal yang saya syukuri juga, setidaknya kami bertemu di hutan dimana waktu itu kami sama-sama kucel, belepotan lumpur, ngga mandi 3 hari 3 malam, mencoba untuk survive. (eh ada hubungannya gak sih?)
Sekian cerita saya kali ini, terima kasih telah menyimaknya.
1 comment:
Post a Comment